Kontrasepsi darurat atau morning after pill adalah metode pencegahan kehamilan yang digunakan sesaat dalam situasi khusus yang tidak terduga atau darurat. Kontrasepsi darurat adalah salah satu upaya mencegah kehamilan yang bisa dikonsumsi maksimal 72 jam setelah terjadinya penetrasi.
Hanya saja, sejauh ini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) hanya menyediakan kontrasepsi untuk pasangan yang sudah menikah. BKKBN tak menganjurkan kontrasepsi bagi individu yang aktif secara seksual namun belum menikah.
Padahal terlepas dari status pernikahannya, akses kontrasepsi darurat harus terjamin sebebas-bebasnya, terlebih untuk perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual karena sejumlah data sudah menunjukkan tentang banyaknya kasus kekerasan seksual di luar kehamilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau bagi korban perkosaan sangat penting ya karena kan secara psikologis dia sudah tertekan dengan hal yang dialami, bagaimana kalau dia diberi tanggung jawab besar hamil dari orang yang dia tidak kehendaki. Pasti secara psikologis, kontrasepsi darurat ini sangat membantu korban," kata spesialis obgyn dari RSIA Brawijaya Saharjo, dr Dinda Derdameisya SpOG saat diwawancarai detikcom.
Namun dr Dinda tak menampik bahwa sejauh ini akses pil kontrasepsi darurat di Indonesia baru bisa didapatkan jika ada resep dokter, di luar itu, sulit untuk didapatkan. Padahal jika melakukan pencarian di internet, kata kunci 'apakah morning after pill dijual bebas' saat ini sudah menjadi pencarian teratas di Google. Artinya ini mengindikasikan bahwa banyak orang yang melakukan pencarian informasi tentang obat ini.
Sejauh ini memang masih sedikit negara yang memberikan akses kontrasepsi darurat untuk dijual bebas di apotek. Kontrasepsi darurat adalah obat resep yang paling umum ditolak. Penolakan ini disebabkan umumnya karena menurut keyakinan agama atau moral yang menyebutkan bahwa obat ini tak boleh diakses karena ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar pernikahan.
Ina (bukan nama sebenarnya) tak pernah menyangka ia akan membutuhkan pil kontrasepsi darurat sebagai langkah untuk menyelamatkan masa depannya. Aksesnya yang kian sulit membuat Ina hampir frustasi karena tak ada layanan kontrasepsi darurat yang ia temukan.
Meski hati dipenuhi kepanikan, ia yang saat itu masih berusia 18 tahun harus memutar otak agar bisa mendapat pil pencegah kehamilan itu di fasilitas kesehatan. Dengan bantuan informasi dari internet, ia menemukan satu apotek yang menjual pil kontrasepsi darurat.
"Itu aja jauh, terpencil. Pas disana aku diminta masukin nomor telepon, agak takut sebenarnya makanya aku nggak kasi nomor hp aku,"
Saat membeli pil tersebut, penyedia layanan tidak memberi tahu bagaimana cara mengkonsumsinya yang membuat hal ini menjadi amat berisiko. Jika terjadi kesalahan, ia bisa mengalami pendarahan hebat yang mengancam keselamatannya.
"Akhirnya ya baca di internet. Untung aja masih dikasih selamat sampai sekarang," ungkap Ina.
Tidak semua korban pelecehan seksual berani untuk melaporkan kejadian yang dialaminya ke kepolisian. Rasa trauma dan ketakutan besar mengalahkan keberanian mereka untuk menjelaskan kembali kondisi yang dialami.
Berdasarkan data pada tahun 2019 yang dihimpun International Consortium for Emergency Contraception, baru 19 negara yang mengizinkan akses pembelian kontrasepsi darurat di apotek.
Beberapa negara tetangga sudah menyediakan informasi lengkap tentang cara mengakses kontrasepsi darurat bagi korban kekerasan seksual. Singapura, misalnya, telah menyediakan layanan komprehensif untuk penanganan bagi korban kekerasan seksual dalam daftar rumah sakit yang ditunjuk dan bantuan-bantuan lainnya terkait hal tersebut.
Dalam laman Sexual Assault Care Center, otoritas Singapura sudah memberikan prosedur lengkap mengenai alur dan tata cara yang harus segera dilakukan dalam 72 jam usai kekerasan seksual terjadi.
Care Center tersebut juga menyediakan layanan yang aman, gratis, dan rahasia bagi siapa saja yang pernah menghadapi kekerasan seksual dan/atau pelecehan seksual, bahkan jika itu terjadi bertahun-tahun yang lalu," tulis layanan tersebut.
Kondisi di Indonesia
Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan Algoritma Tata Laksana Pelayanan Kesehatan Seksual bagi Korban Kekerasan Seksual. Dalam pedoman tersebut, dipaparkan mengenai 72 jam waktu krusial penanganan kesehatan korban kekerasan seksual.
"Bila terdapat penetrasi kurang dari 72 jam berikan kontrasepsi darurat saat kondisi pasien stabil. Cegah dan obati ISK (infeksi saluran kemih) dan IMS (infeksi menular seksual)," tulis pedoman tersebut.
Tindakan yang harus dilakukan tenaga kesehatan dalam hal ini yakni mengatasi keadaan gawat darurat dan melakukan stabilisasi tanda-tanda vital. Tenaga kesehatan juga diminta untuk memberikan kontrasepsi darurat jika terdapat penetrasi kurang dari 72 jam pada korban.
Untuk mendapat akses ini, korban kekerasan seksual harus mendapat surat keterangan visum dari pihak kepolisian dan menghadapi rumitnya prosedur hukum sebelum diberikan kontrasepsi darurat.
Pedoman ini juga tidak secara jelas menjelaskan alur yang harus dilalui korban kekerasan seksual untuk mendapat layanan kesehatan secara komprehensif. Belum ada data mengenai daftar rumah sakit rujukan mana saja yang bisa didatangi oleh korban untuk mendapatkan kontrasepsi darurat secara aman.
dr Dinda menjelaskan, kontrasepsi darurat dapat mencegah kehamilan dengan cara menunda ovulasi, mengganggu proses fertilisasi telur oleh sperma, dan mencegah implantasi sel telur yang berhasil dibuahi di dinding rahim. Ia juga menegaskan, bahwa pil kontrasepsi darurat bukan merupakan obat aborsi
"Kalau aborsi kan dilakukan jika sudah terjadi pertemuan antara sel telur dan sperma dan sudah menempel di dinding rahim. Kalau ini (kontrasepsi darurat-red) dinding rahimnya dikacaukan dan nggak bisa tertanam," ungkapnya.
Tidak Luasnya Akses Kontrasepsi Darurat
Seharusnya ada akses yang terbuka untuk kontrasepsi darurat dengan pemerintah atau swasta yang bisa menjamin ketersediaannya di klinik-klinik dan praktek umum serta rumah sakit. Aksesnya pun harus tersedia di mana saja.
Menanggapi terkait kontrasepsi darurat, Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo mengatakan tidak ada data yang pasti mengenai jumlah penggunaannya di Indonesia. Meski demikian ia mengisyaratkan bahwa kontrasepsi darurat hanya bisa diakses oleh pasangan suami istri yang menikah secara sah.
"Saya belum bisa menjawab, karena ini (akses kontrasepsi darurat untuk korban kekerasan seksual-red) kan sulit ya sebenarnya," kata dr Hasto.
Pasangan suami istri yang sah pun harus mendapatkan pil kontrasepsi darurat jika sudah mendapat resep dari penyedia layanan kesehatan seperti dokter atau bidan. Para istri seperti tidak dibebaskan untuk mengatur kehamilannya dengan pil kontrasepsi darurat tanpa persetujuan dokter.
RI Darurat Aborsi Aman
Korban perkosaan juga berisiko tinggi mengalami kehamilan tidak direncanakan. Apabila kehamilan terjadi, mereka kembali berisiko melakukan aborsi tidak aman.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Margaret M. Giorgio tentang estimasi kasus aborsi di pulau Jawa tahun 2018, terjadi 42,5 kasus per 1.000 yang dilakukan perempuan berusia 15-49 tahun.
Padahal UU Kesehatan sudah mengatur tentang aborsi aman bagi korban kekerasan seksual. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan dijamin haknya untuk akses aborsi aman.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) terkait aborsi di Indonesia, mereka menemukan Kemenkes pernah melakukan survey rumah tangga pada tahun 2010 terkait aborsi. Hasilnya sebanyak 6,56 persen dari 60 ribu perempuan atau sekitar 757 perempuan yang telah menikah pernah menggugurkan kandungannya.
"Kondisi ini sebenarnya menunjukkan bahwa ada kebutuhan akan akses layanan aborsi yang aman dan legal di Indonesia," kata Maidina Rahmawati yang terlibat dalam studi tersebut.
Meski dalam undang-undang kesehatan jelas ditegaskan bahwa aborsi ilegal, namun ada beberapa kondisi terkait kedaruratan misalnya korban perkosaan. Namun dalam prakteknya, ICJR menemukan tetap ada korban yaitu perempuan yang mendapatkan pidana karena melakukan aborsi tidak aman.
Sayangnya pengaturan tentang penyelenggaraan aborsi aman dalam Permenkes 3/ 2016 dan Pedoman Kesehatan Reproduksi Terpadu di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar hanya memuat tentang penanganan pasca keguguran. Selain itu panjangnya alur untuk korban perkosaan bisa mendapatkan layanan aborsi aman, seperti tidak jelas dan berat di regulasi.
Pemerintah Indonesia harus memikirkan ini karena implikasi layanan ini jelas berakibat pada perempuan, padahal inisiatif kehamilan selalu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu mesti ada perubahan kebijakan pada perempuan, karena jangan hanya perempuan yang menanggung beban dari sebuah kehamilan.
Simak Video "Video Data WHO: Sepertiga Perempuan di Dunia Alami Kekerasan Fisik dan Seksual"
[Gambas:Video 20detik]
(kna/naf)











































