Gegara Resesi Seks, Influencer Bujuk Pasutri Muda Thailand yang Ogah Punya Anak

Gegara Resesi Seks, Influencer Bujuk Pasutri Muda Thailand yang Ogah Punya Anak

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Rabu, 30 Nov 2022 08:39 WIB
Gegara Resesi Seks, Influencer Bujuk Pasutri Muda Thailand yang Ogah Punya Anak
Resesi seks di Thailand. (Foto ilustrasi: Getty Images/Kevin Frayer)
Jakarta -

Tahun lalu, Thailand mencatat 544 ribu kelahiran, terendah selama enam dekade. Selain resesi seks, kematian juga membengkak akibat COVID-19.

Resesi seks merupakan turunnya gairah seseorang untuk berhubungan seks, memiliki anak, dan menikah. Tren ini juga terjadi Thailand. Gaya hidup yang berubah membuat mereka memilih 'mogok' punya anak.

Beribu cara dilakukan pemerintah Thailand untuk menekan penyusutan jumlah kelahiran. Misalnya, insentif atau bantuan dana untuk jaminan perawatan anak. Namun, hasilnya nihil.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Influencer Turun Tangan

Dikutip dari Straits Times, pemerintah bahkan ikut melibatkan influencer soal promosi memiliki lebih banyak anak, tetapi lagi-lagi siasat ini juga tampaknya tak berjalan mulus.

ADVERTISEMENT

Promosi di media sosial ditujukan bagi pasangan muda agar tidak memilih childfree atau tidak mempunyai anak.

"Tetapi rencana itu tidak berjalan," kata Direktur Biro Kesehatan Reproduksi Thailand, Bunyarit Sukrat. "Tidak semua orang dapat memahami maksud dan tujuan program tersebut," lanjut dia.

Resesi Seks Thailand

Lantaran segala upaya yang dilakukan berbuah nihil, Asisten Profesor Piyachart Phiromswad, menilai pemerintah sepertinya lebih baik mengubah fokus strategi mereka. Pasalnya, seiring dengan laporan resesi seks, populasi Thailand terus menua.

"Kita harus memikirkan kembali persepsi kita tentang demografi senior. Karena jika kita tidak mengubah tantangan ini menjadi peluang, itu tentu akan terjadi krisis," kata Phiromswad, yang berspesialisasi dalam ekonomi kependudukan di Thailand, dikutip dari The Guardian.

"Bukti telah menunjukkan bahwa tidak mungkin untuk sepenuhnya membalikkan penurunan tingkat kesuburan. Kita perlu mengalihkan fokus pada orang-orang yang ada dan melihat populasi lanjut usia sebagai sumber produktivitas," katanya, mencatat bahwa teknologi, perawatan kesehatan, dan perubahan pola pikir dapat memungkinkan orang lanjut usia tetap berkontribusi dan produktif.

Menurutnya, tidak efektif membujuk pasangan untuk memiliki lebih banyak anak, dengan mengubah sikap terhadap keluarga, karier, dan gaya hidup.




(naf/naf)

Berita Terkait