Pihak manajemen dari pemain film, Arawinda, menyampaikan klarifikasi atas kasus perselingkuhan yang menyeret nama talent-nya. Menanggapi ramainya tudingan warganet bahwa Arawinda 'merebut' suami orang lain, pihak manajemen menyebut bahwa Arawinda adalah korban love bombing dan manipulasi dari pria dalam kasus tersebut.
"Pria tersebut mulai memberikan love bombing terhadap talent kami secara intens selama hampir 2 minggu melalui perhatian, kata-kata manis, chat dan emoji flowers, love, hugs (chat masih tersimpan)," ditulis oleh pihak KITE Entertainment dalam unggahannya di Instagram, Selasa (29/12/2022).
Terlepas dari nama-nama pada kasus tersebut, psikolog klinis dan founder pusat konsultasi Anastasia and Associate, Anastasia Sari Dewi, menjelaskan bahwa secara umum, love bombing adalah sikap memberikan perhatian secara tiba-tiba dan terburu-buru. Demi menuai simpati dan empati orang disukai, pelaku love bombing memberikan berupa kata-kata, hadiah, atau perhatian dengan bantuan banyak hal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbeda dengan hubungan yang normal, love bombing ini umumnya berujung pada sikap mengontrol dan posesif. Layaknya siklus 'abusive relationship', korban love bombing akan dibuat merasa bersalah jika suatu hari terjadi pertengkaran. Pasalnya, korban merasa pelaku telah memberikan dan memperjuangkan banyak hal.
"Love bombing dan manipulasi itu memang ciri-cirinya itu terkesannya terburu-buru, terkesannya kok mendapatkan atau memberikan perhatiannya langsung besar sekali kayak kejatuhan bom yang isinya perhatian. Mungkin kata-kata, mungkin hadiah, mungkin servis diantar-jemput tiba-tiba setiap hari, ditungguin, dibantuin ini-itu, dikasih hadiah ini-itu," terang Sari pada detikcom, Rabu (30/11).
Lantas selain memberikan kata-kata manis dan hadiah, apa saja tanda-tanda 'love bombing'? Berikut penjelasannya:
1. Bersikap sangat terbuka padahal baru kenal
Sari menjelaskan, pelaku love bombing seringkali bersikap amat terbuka pada fase awal berkenalan dengan orang yang disukainya. Tak lain, dengan menceritakan hal-hal yang bersifat privasi, termasuk masalah keluarga.
"Dia (pelaku love bombing) juga membuka tentang cerita dirinya itu langsung banyak. Jadi nggak cuma profil saya kerja di mana dan usia berapa, nggak. Melainkan juga langsung ke arah mungkin baru ketemu sekali-dua kali tapi langsung ceritanya sampai ke hal-hal terdalam pengalaman dirinya untuk menarik simpati atau empati orang lain atau pasangan yang lagi dia suka," terangnya.
"Dia mencoba menarik simpati atau empati, entah mungkin ceritanya tentang pasangan dia sebelumnya, keluarga, aib, apalah mungkin sebelumnya. Pokoknya dia menggunakan berbagai cara untuk secara emosional bisa mendapatkan atensi dari pasangan satunya," sambung Sari.
2. Siklusnya mirip dengan 'abusive relationship'
Setelah pelaku love bombing bersifat amat terbuka kepada korban, muncul kesan korban dan pelaku saling membutuhkan satu sama lain. Di titik inilah manipulasi bisa terjadi. Pasalnya jika komitmen sudah benar-benar dijalankan atau korban sudah menyukai pelaku, pelaku bisa memanfaatkan hubungan erat yang terjalin ketika terjadi pertengkaran.
"Gaslighting-nya berjalan, dia akan bagaimana caranya dia memanfaatkan hubungan yang ada. Jadi cycle-nya sebetulnya mirip-mirip seperti cycle of abuse, di mana ada fase nanti honeymoon-nya mereka, berbunga-bunga, banyak senang-senang dan lain sebagainya. Love bombing-nya di situ," jelas Sari.
"Habis itu nanti ada perdebatan, cekcok, dan lain sebagainya, terus adu pendapat mungkin, atau mungkin lain-lainnya, posesifnya, pertengkarannya, terus posesif seperti ingin mengendalikan," imbuhnya.
3. Rentan dialami orang yang dependen
Menurut Sari, love bombing bisa dialami siapa pun baik berusia belia maupun dewasa. Walaupun memang, orang-orang berusia muda rentan menjadi korban love bombing karena pengalaman menjalin hubungannya tidak banyak, ditambah belum memahami konsep relationship secara matang.
Ali-alih faktor usia, Sari menyebut, faktor kepribadian lebih memengaruhi kerentanan seseorang menjadi korban love bombing.
"Kalau orang yang tipenya dependen atau bergantung, mungkin bisa dari awal sudah dependen sehingga dia mendapatkan pasangan yang seperti itu, dia suka mendapatkan love bombing," jelas Sari lebih lanjut.
"Atau sebaliknya, yang aslinya dia nggak dependen, dia misalkan sebelumnya independen, tapi karena 'dapat love bombing kok enak ya?' jadinya nagih dengan love bombing itu. Dia jadi dependen atau bergantung sama sosok yang love bombing," sambungnya.
4. Pertengkaran lebih hebat dibandingkan pasangan tanpa love bombing
Setelah fase love bombing alias 'honeymoon' berlalu, pasangan akan mengalami pertengkaran dan cekcok. Pada tahap ini, korban love bombing berisiko diperlakukan secara posesif oleh pelaku. Pasalnya, perasaan korban dikontrol oleh pelaku yang sejak awal hubungan, telah memberikan kesan bahwa dirinya amat baik dan rela berjuang banyak. Kebaikan yang pernah diberikan pun bisa diungkit-ungkit untuk memunculkan rasa perasaan bersalah pada korban.
Alih-alih menjadi perwujudan cinta, kebaikan yang diberikan pada awal hubungan malah menjadi 'senjata' untuk pelaku love bombing mengontrol korban dan membuat korban merasa bersalah.
"Akan ada fase-fase pertengkaran, adu cekcok, adu mulut, dan lain sebagainya dengan kemungkinan lebih besar pertengkarannya bisa terjadi dibandingkan pertengkaran yang tidak ada love bombing-nya. Kenapa kemungkinan bisa lebih besar? Karena pelaku merasa bahwa 'selama ini banyak lho usaha ini yang sudah gue kasih ke lo. Gue sudah kasih lo waktu, ini-itu, gue kurang apa lagi sama lo?'," beber Sari.
"Pelaku love bombing punya senjata itu sehingga secara tidak sadar menjadi senjata yang pihak satunya (korban) lama-lama bisa meragukan dirinya sendiri atau merasa dirinya sendiri 'iya ya, gue dikasih ini-itu gue nggak bersyukur nih begini saja kita ribut. Aku nurut deh karena dia sudah berusaha berjuang keras'," pungkasnya.
Simak Video "Dialami Arawinda Kirana, Apa itu Vaginismus?"
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/up)











































