Beberapa negara di dunia kini mengalami penurunan populasi imbas resesi seks. Warganya menolak untuk memiliki keturunan dan banyak wanita yang berhenti melahirkan.
Dikutip dari jurnal The Atlantic, istilah 'resesi seks' merujuk pada penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual yang dialami suatu negara sehingga mempengaruhi tingkat kelahiran yang rendah. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan fenomena resesi seks, seperti:
- Menemukan 'kesenangan' dengan cara lain
- Seks menyakitkan
- Permasalahan ekonomi
- Tingkat pernikahan yang sedikit
- Stres kerja dan kelelahan
Lalu, negara mana saja yang tengah 'dihantui' resesi seks? Ini daftarnya.
1. Thailand
Thailand dihadapi 'resesi seks' yang menyebabkan angka kelahiran terus menyusut di tengah populasi yang kian menua. Tren demografis di negara tersebut telah mengalami penurunan selama lima tahun terakhir.
Per 2020, menjadi berada di 1,24, lebih rendah dari tingkat penggantian populasi sekitar 1,6. Laporan tersebut bak menjadi pukulan ganda bagi Thailand.
Hal ini membuat pemerintah mendorong banyak pasangan untuk memiliki bayi. Melihat ini, para ahli keluarga berencana meminta pemerintah memberikan perhatian lebih pada populasi yang menua agar tetap produktif.
"Kita harus memikirkan kembali persepsi kita tentang demografi senior. Karena jika kita tidak mengubah tantangan ini menjadi peluang, itu tentu akan terjadi krisis," kata Asisten Profesor Piyachart Phiromswad, yang berspesialisasi dalam ekonomi kependudukan di Thailand, dikutip dari The Guardian.
2. Korea Selatan
Pada 2021, Korea Selatan mencatat tingkat kesuburan hanya 0,81 persen. Padahal, idealnya satu negara memiliki tingkat kesuburan hingga 2,1 persen yang bertujuan untuk menjaga populasi.
Beberapa hal yang menyebabkan kondisi ini seperti anak-anak muda yang tidak mau menikah. Selain itu, para wanita yang sudah menikah memilih untuk tidak memilih hamil. Warganya menganggap anak-anak mereka kelak tidak bisa memiliki hidup yang lebih baik.
"Singkatnya, orang mengira negara kita bukanlah tempat yang mudah untuk ditinggali," kata Lee So-Young, pakar kebijakan kependudukan di Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial di Korea Selatan.
"Mereka percaya anak-anak mereka tidak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka, jadi mempertanyakan mengapa mereka harus bersusah payah untuk memiliki bayi," lanjutnya.