Kata Psikolog soal 'Love Bombing', Disinggung Dalam Klarifikasi Arawinda

Terpopuler Sepekan

Kata Psikolog soal 'Love Bombing', Disinggung Dalam Klarifikasi Arawinda

Vidya Pinandhita - detikHealth
Sabtu, 03 Des 2022 08:00 WIB
Jakarta -

Pihak manajemen pemain film, Arawinda, mengeluarkan klarifikasi terkait kasus perselingkuhan yang menyeret namanya dengan tudingan 'merebut' suami orang lain. Disebutkannya, Arawinda adalah korban love bombing dan manipulasi. Apa itu sebenarnya?

"Pria tersebut mulai memberikan love bombing terhadap talent kami secara intens selama hampir 2 minggu melalui perhatian, kata-kata manis, chat dan emoji flowers, love, hugs (chat masih tersimpan)," tertera dalam keterangan di akun Instagram @kite.entertainment, Selasa (29/12/2022).

Terlepas dari nama yang terseret dalam kasus tersebut, psikolog klinis dan founder pusat konsultasi Anastasia and Associate, Anastasia Sari Dewi, menjelaskan love bombing adalah sikap memberikan perhatian secara tiba-tiba dan terburu-buru. Tak lain, untuk mendapatkan simpati dan empati dari orang yang disukai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Love bombing dan manipulasi itu memang ciri-cirinya itu terkesannya terburu-buru, terkesannya kok mendapatkan atau memberikan perhatiannya langsung besar sekali kayak kejatuhan bom yang isinya perhatian. Mungkin kata-kata, mungkin hadiah, mungkin servis diantar-jemput tiba-tiba setiap hari, ditungguin, dibantuin ini-itu, dikasih hadiah ini-itu," jelas Sari pada detikcom, Rabu (30/11).

"Orangnya juga tiba-tiba ingin segera mendapatkan kepastian, seolah-olah itu kayak baru mengenal seseorang, tapi orang yang dia kenal itu sepertinya sudah baik saja untuk dia. Dia ingin mendapatkannya, sehingga dia memberikan banyak perhatian, hadiah, mungkin bantuan, love bombing-nya seperti itu," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Sari menambahkan, love bombing juga ditandai dengan sikap amat terbuka tentang hal-hal privasi. Dalam kondisi baru berkenalan, orang yang love bombing umumnya langsung bercerita perihal hal-hal privasi, tak lain untuk menarik empati orang yang disukainya.

"Dia (pelaku love bombing) juga membuka tentang cerita dirinya itu langsung banyak. Jadi nggak cuma profil saya kerja di mana dan usia berapa, nggak. Melainkan juga langsung ke arah mungkin baru ketemu sekali-dua kali tapi langsung ceritanya sampai ke hal-hal terdalam pengalaman dirinya untuk menarik simpati atau empati orang lain atau pasangan yang lagi dia suka," terang Sari.

"Dia mencoba menarik simpati atau empati, entah mungkin ceritanya tentang pasangan dia sebelumnya, keluarga, aib, apalah mungkin sebelumnya. Pokoknya dia menggunakan berbagai cara untuk secara emosional bisa mendapatkan atensi dari pasangan satunya," imbuhnya.

NEXT: Efek love bombing, bahayanya mirip dengan 'abusive relationship'

Menurut Sari, siklus love bombing sebenarnya mirip dengan siklus abusive relationship. Setelah fase love bombing, pasangan lebih rentan mengalami pertengkaran. Namun karena di awal hubungan korban terlanjur menerima perhatian amat banyak, korban menjadi menyalahkan diri sendiri jika terjadi cekcok dengan pasangan.

"Akan ada fase-fase pertengkaran, adu cekcok, adu mulut, dan lain sebagainya dengan kemungkinan lebih besar pertengkarannya bisa terjadi dibandingkan pertengkaran yang tidak ada love bombing-nya. Kenapa kemungkinan bisa lebih besar? Karena pelaku merasa bahwa selama ini banyak lho usaha ini yang sudah gue kasih ke lo. Gue sudah kasih lo waktu, ini-itu, gue kurang apa lagi sama lo?" terang Sari.

"Pihak satunya (korban) lama-lama bisa meragukan dirinya sendiri atau merasa dirinya sendiri 'iya ya, gue dikasih ini-itu gue nggak bersyukur nih begini saja kita ribut. Aku nurut deh karena dia sudah berusaha berjuang keras' begini-begitu. Ini jadi yang nggak pas. Love bombing-nya akhirnya bukan betul-betul sebagai perwujudan love, melainkan sebagai senjata suatu saat untuk mengontrol orang lain," lanjutnya.

Menurut Sari, tidak ada faktor usia pada korban love bombing. Tak hanya pada belia, orang dewasa pun berisiko menjadi korban. Namun memang, usia belia dengan pengalaman menjalin hubungan yang lebih sedikit lebih besar kemungkinannya terkena love bombing.

"Saya pun meng-handle klien yang usianya sudah 30, sudah bahkan 40, ada yang lebih tua, itu memang seringkali terjerat hal seperti ini," jelas Sari lebih lanjut.

"Tapi usia belia lebih rentan, karena minimnya pengalaman dalam relationship kemungkinan besar bisa jadi. Kemungkinan besar kalau menimbang minimnya pengalaman dalam relationship, dan kemampuan berpikirnya, kognisinya, menimbangnya, logikanya belum begitu matang atau kompleks seperti orang dewasa," pungkas Sari.

Halaman 2 dari 2
(vyp/vyp)

Berita Terkait