Cara Pemerintah Atasi Polemik Praktik Kedokteran Spesialis di Indonesia

Cara Pemerintah Atasi Polemik Praktik Kedokteran Spesialis di Indonesia

Sukma Nur Fitriana - detikHealth
Senin, 12 Des 2022 11:30 WIB
Cara Pemerintah Atasi Polemik Praktik Kedokteran Spesialis di Indonesia
Foto: Dok. Shutterstock
Jakarta -

Dalam menangani kesehatan masyarakat, Indonesia masih berhadapan dengan belum meratanya dokter spesialis di setiap daerah. Padahal, masyarakat Indonesia dihantui dengan lima penyakit kematian berisiko tinggi yang membutuhkan penanganan optimal dari dokter spesialis.

Belakangan terungkap belum meratanya dokter spesialis di Indonesia terjadi bukan hanya diakibatkan lamanya proses pendidikan, tetapi juga ada berbagai faktor lain yang menjadi penghambat. Salah satunya adalah bullying atau perundungan.

"Saya melihat fenomena bullying. Saya nggak tau center lain gimana. Karena saya baru semester 3, saya melihat fenomena ini terus-terus berulang gitu walaupun mungkin sebenarnya sering dialasi bahwa mereka, senior, sudah lebih dahulu mendapatkan bullying dan apa yang kami dapatkan sekarang mungkin nggak seberapa," ungkap salah satu penempuh dokter spesialis Obgyn di Universitas Andalas, Diniy Miftahul M, dalam dialog dengan Menteri Kesehatan di YouTube Kemenkes, dikutip Senin (12/12/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena fenomena yang terus berulang tersebut, Diniy meminta pemerintah agar ada regulasi yang jelas dalam menangani masalah bullying yang terjadi selama pendidikan dokter spesialis.

Selain itu, mahalnya biaya pendidikan dalam menempuh dokter spesialis juga menjadi salah satu masalah yang dialami para dokter dalam menempuh pendidikan.

ADVERTISEMENT

"Saya yakin kita di sini, kita semua yang ada 800 di sini semua dapat beasiswa Pak Menteri. 10% beasiswa pemerintah daerah, LPDP atau Kemenkes, 90% beasiswa orang tua Pak Menteri. Jadi para residen ini kalau nggak diisi oleh anak-anaknya, orang yang tanda kutip mampu, ya itu kesulitan Pak Menteri," cerita residen Jantung dan Pembuluh Darah UGM, Jagaddhito,

Jagad juga mengungkapkan mahalnya biaya pendidikan spesialis membuat banyak dokter tidak bisa menjadi spesialis. Sekalipun mereka bisa menempuh pendidikan spesialis, banyak orang tua yang akhirnya berhutang untuk memenuhi kebutuhannya.

Belum berhenti sampai di situ, praktik kedokteran spesialis berhadapan dengan masalah lambannya Surat Tanda Registrasi (STR), Surat Izin Praktik (SIP) dokter, dan ijazah kelulusan yang mereka terima. Masalah intensif dan kesejahteraan dokter spesialis juga tak luput menjadi perhatian. Karena itu, mereka meminta adanya aturan atau sistem yang jelas untuk menangani hal ini.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan apa yang telah disebutkan oleh residen benar adanya. Ia mengakui dan mengatakan pihaknya berupaya untuk menangani hal tersebut.

"Masalah bullying, orang bilang enggak-enggak, tapi kalau saya tanya ngeluh semua tuh. Kalau ditanya jujur, banyak sekali yang mengeluh mengenai bullying," kata Budi.

Lebih lanjut, ia mengatakan mahalnya pendidikan dokter spesialis terjadi karena sedikitnya universitas atau tempat yang mewadahi untuk menjadi dokter spesialis tersebut. Karenanya, ia mencanangkan berbagai skema untuk memperbanyak pendidikan dokter spesialis.

Budi juga menyoroti akan surat rekomendasi menteri dalam proses pendidikan spesialis. Ke depannya, ia ingin adanya kemudahan dalam hal tersebut.

"Itu yang mau saya benerin buat teman-teman (residen). Ini sebentar lagi saya keluarin Permenkes, jadi teman-teman ada intensifnya spesialis. Ada intensifnya 1 tahun, tapi nanti dikasih beasiswa sama kita," katanya.

Bentuk beasiswa yang dimaksud adalah adanya pemerataan dokter spesialis ke seluruh wilayah di Indonesia.

"Saya juga akan kunci tuh pemda-pemda kalau tidak bayar dokternya minimal segini, dia nggak bisa cairin uang pembangunan rumah sakit. Semua orang takutnya cuma dua, sama Tuhan dan sama duit," tegas Budi.

Budi juga mengatakan saat ini DPR ingin sekali merubah undang-undang. Ia mengatakan pihaknya mendukung hal tersebut karena melihat banyak hal yang harus diperbaiki.

"Semua peraturan perundang-undangan dibikin untuk kesejahteraan masyarakat. Bukan kemaslahatan nakesnya, bukan kemaslahatan dokternya, bukan kemaslahatan rumah sakitnya," pungkasnya.

(akd/ega)

Berita Terkait