Perjuangan Mencari Obat Kanker Anak, Sampai Harus 'Berburu' ke Luar Negeri

Hari Kanker Anak

Perjuangan Mencari Obat Kanker Anak, Sampai Harus 'Berburu' ke Luar Negeri

Charina Elliani, Celine Kurnia - detikHealth
Selasa, 14 Feb 2023 07:45 WIB
Perjuangan Mencari Obat Kanker Anak, Sampai Harus Berburu ke Luar Negeri
Obat-obat dan treatment lain untuk kanker anak kadang sulit ditemukan (Foto: Getty Images/iStockphoto/Panuwat Dangsungnoen)
Jakarta -

Dengan jumlah kasus yang relatif lebih sedikit, kanker pada anak punya tantangan tersendiri dalam pengobatannya. Tak jarang pasien dan keluarganya harus kerja keras mencari obat dan kebutuhan lain yang sulit ditemukan di Indonesia.

Salah satunya dialami Sabrina Alvie Amelia, seorang penyintas kanker darah leukemia. Alvie yang kini berusia 26 tahun sempat menjalani pengobatan di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Alvie bercerita, kala itu ia pernah kesulitan mendapat suatu obat untuk kemoterapi.

"Kebetulan ayahku di Jogja nggak nemu. Sampai dia nyari di Jateng, apotek, rumah sakit, dan lain-lain. Soalnya kalau kemo itu kan ada jadwalnya. Tiap minggu harus masuk obat apa. Ada schedule ketat jadi nggak bisa mundur beberapa lama karena akan mengulang dari awal," cerita Alvie dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (13/2/2023).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Makanya pas itu di Yogya lagi habis atau langka obatnya. Sampai akhirnya nemu di daerah Jawa Tengah," jelasnya.

Rumitnya penanganan kanker pada anak juga diakui oleh pada dokter. Mereka mengakui, beberapa obat dan treatment tertentu tak hanya langka tetapi juga mahal harganya dan terkadang tidak ditanggung asuransi.

ADVERTISEMENT

Spesialis ortopedi dan traumatologi serta konsultan onkologi onkologi, dr Yogi Prabowo, SpOT(K) Onk mengatakan operasi menyembuhkan kanker tulang membutuhkan biaya yang mahal. Hal ini terjadi jika pasien menggunakan prosthesis atau 'tulang buatan' untuk menggantikan kaki yang diamputasi. Terkadang, prosthesis tersebut belum ada di Indonesia sehingga harus impor dari negara-negara Eropa atau Amerika.

"Satu prosthesis untuk mengganti tulang paha harganya bisa ratusan juta, bisa 150-250 juta (rupiah). Sementara BPJS tidak menanggung hal tersebut. Masalah terbesar adalah belum masuk ke sistem jaminan kesehatan nasional. Untuk orang yang tidak mampu pasti nggak bisa bayar kalau tidak dicover BPJS," kata dr Yogi ketika ditemui detikcom di RS dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rabu (1/2/2023).

Senada dengan itu, spesialis mata dan konsultan kanker mata Prof dr Rita Sita Sitorus, PhD, SpM(K) mengatakan ada beberapa jenis obat yang saat ini belum tersedia di Indonesia. Ia memberi contoh RSCM yang merupakan salah satu pusat pengobatan retinoblastoma terbesar belum sepenuhnya memiliki obat yang lengkap.

"Beberapa pengobatan masih belum ada di Indonesia. Obat tersebut untuk disuntikkan. Yang diminum ada, tapi obat yang disuntikkan belum ada. Misalnya nelfan, itu nggak ada jadi masih kita minta bantuan dari yayasannya Bu Ira (Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia) untuk menolong kami mengadakan obat tersebut," ungkap dr Rita ketika ditemui detikcom di RSCM, Jumat (3/2/2023).

Menurut spesialis anak dan konsultan kanker anak Dr dr Haridini Intan Setiawati Mahdi, SpA(K) beberapa obat-obatan kanker memang tidak ada di Indonesia sehingga sedang diupayakan untuk diimpor. Pendistribusian obat ke dalam negeri dibantu oleh rumah sakit atau Non Government Organization (NGO) seperti yayasan kanker.

"Dari rumah sakit harus mengajukan (ke pemerintah) sistem untuk pengadaan obat-obatan yang sulit didapatkan seperti SAS (Special Access Scheme). Hanya saja tergantung dari rumah sakit itu, seberapa gigih dia mengupayakan untuk meminta obat-obatan," tutur dr Haridini.

Upaya pengadaan obat ke pemerintah memang merupakan kewajiban rumah sakit. Namun terkadang, cara paling cepat biasanya dengan meminta obat ke yayasan pemerhati kanker.

NEXT: Berburu obat sampai ke luar negeri

Sebagai pihak yang turut membantu penanganan kanker, pendiri Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) Ira Soelistyo berbagi kisah tentang kurang difasilitasinya distribusi obat tertentu ke dalam negeri. Ia menyebut obat 6-MP dibutuhkan untuk oleh pasien kanker agar tidak terjadi kekambuhan. Obat tersebut berasal dari India dengan harga asli Rp 400 per butir. Sayangnya, obat tersebut tidak ada di rumah sakit sedangkan tersedia di pasaran.

"Obat ini tuh klasik, obat kuno, obat tua, di mana-mana masih dipakai. Ke sini (Indonesia) nggak masuk karena nggak ada pedagang besar atau importir yang mau masukin karena murah banget. Dia mau ambil untung dari mana kalau cuma 400? Dicariin di rumah sakit nggak ada, tapi di pasaran ada," ungkap Ira ketika kepada detikcom di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (9/2/2023).

Sebagai yayasan yang juga bergabung dengan organisasi-organisasi kanker internasional, Ira memiliki koneksi sehingga bisa membantu pendistribusian obat itu ke Indonesia.

"Tapi seharusnya 'kan nggak begitu. Negara menyediakan. Negara artinya dokternya, tapi kok nggak? Dari dulu begitu. Kalau negara turun tangan dalam arti memfasilitasi nggak akan susah (didapat) seperti itu. Sudah dari zaman anak saya berobat tahun 1983 sampai sekarang. Putus-putus (distribusinya)," ucap Ira.

Selain permasalahan obat-obatan, kanker anak di Indonesia dinilai juga bermasalah dari segi pendataan jumlah kasus secara nasional. Menurut dr Haridini, Indonesia belum memiliki registrasi yang lengkap terkait pendataan kasus dan pascaremisi kanker anak.

"Saya pernah belajar di Kanada. Registrasi mereka dari tahun 1970 itu bagus. Saking bagusnya sampai punya data third malignancy," kata dr Haridini. Artinya, anak mengidap kanker saat kecil. Setelah menjalani pengobatan dan membaik, ia bisa mengidap kanker lagi hingga kedua dan ketiga beberapa tahun kemudian. Kondisinya dapat tercatat oleh negara.

"Mereka (Kanada) punya data sampai 4,5 persen. Tapi jangan diambil secara gitu saja. Pasti ada faktor-faktor lain kita nggak tahu. Data di Indonesia sendiri untuk yang pertama saja masih belum kuat," tambah dr Haridini.

Sementara itu, dr Rita juga berpendapat Indonesia belum memiliki data pasti prevalensi kanker mata pada anak. Berdasarkan data rumah sakit, di RSCM sendiri jumlah kasus retinoblastoma mencapai 40 pasien per tahun. Menurutnya belum semua kanker anak teregistrasi oleh negara dibandingkan kanker secara umum.

Terkait berbagai persoalan penanganan kanker pada anak, detikcom telah menemui Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Kementerian Kesehatan Dr Eva Susanti, S.Kep, M.Kes. Namun hingga artikel ini dipublikasikan, dr Eva belum dapat menyampaikan tanggapan.

Simak tanya jawab seputar kanker pada anak dalam webinar series Hari Kanker Anak Internasional 2023, Rabu 15 Februari 2023 pukul 13.00 WIB. Info selengkapnya, KLIK DI SINI.

Halaman 3 dari 2


Simak Video "Video: Ketua YKPI soal Banyak Pasien Kanker Pilih Pengobatan Alternatif"
[Gambas:Video 20detik]
(up/up)
Hari Kanker Anak Internasional 2023
19 Konten
Hari kanker anak sedunia atau hari kanker anak internasional diperingati setiap tanggal 15 Februari. Leukemia, osteosarkoma, dan retinoblastoma termasuk jenis kanker yang paling sering ditemukan pada anak.

Berita Terkait