Dalam mendampingi anak jalani pengobatan kanker yang panjang, tak jarang para orang tua kehilangan harapan. Saat itulah kehadiran sosok-sosok pendukung sangat dibutuhkan.
"Yang ada di pikiran saya benar-benar putus asa. Setiap hari yang ada saya hanya menangis. Merawat di rumah sakit, tetapi tidak punya harapan. Yang ada hanya (rasa) putus asa dan kekecewaan," tutur Maylan, seorang ibu yang anaknya didiagnosis kanker kelenjar getah bening.
Putus asa dan kecewa, dua kata yang menggambarkan perasaannya. Tak pernah terlintas dalam benaknya, gejala-gejala yang selama ini dirasakan anaknya ternyata merupakan gejala kanker.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada nyeri perut, perut kembung, malas makan, agak pucat. Memang anak-anak itu 'kan sering kembung, jadi yang ada di pikiran saya waktu itu memang biasa lah, penyakit anak-anak kecil. Cuman karena memang sering seperti itu, akhirnya saya bawa ke dokter spesialis anak. (Saat itu) dokter spesialis juga belum ada curiga ke arah keganasan," ungkap Maylan.
"Setelah dirawat di rumah sakit, 2 minggu setelah dirawat baru muncul benjolan, dari situ baru dari dokter spesialis anak mengejar itu apa," lanjutnya.
Menurut dr Haridini Intan Setiawati, SpA(K), konsultan hematologi onkologi anak di RS Kanker Dharmais, gejala kanker pada anak memang seringkali rancu dan sulit dibedakan dengan penyakit lainnya.
"Banyak sekali keganasan pada anak itu yang gejalanya konvensional, entah itu disangka meningitis kah, misalkan infeksi biasa atau TBC. Itu memang harus jeli-jelinya kita mendiagnosis. Kita singkirkan dulu yang paling berat, baru kita pikirkan yang ringan," ujar dr Haridini ketika ditemui detikcom, Kamis (2/2/2023).
"Gejala konvensional cuma sakit perut bisa leukemia. Aku pikir dokter anaknya juga nggak kepikiran sampai ke situ. Saru sekali," tambahnya.
Hal ini yang seringkali menghambat pendeteksian dini kanker pada anak. Diperlukan edukasi yang kuat kepada orang tua untuk bisa meningkatkan kesadaran mereka terhadap tanda-tanda awal kanker pada anak.
Mengingat kembali pengalamannya, Maylan mengaku mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa anaknya mengidap kanker.
"Secara manusia saya tidak bisa terima sebenarnya. Tetapi apapun yang dihadapkan pada kita, kita nggak punya pilihan selain menghadapi yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Jadi walaupun tiap hari dengan air mata, tetap semangat untuk merawat anak," ucap Maylan.
Proses penerimaan dari keluarga, khususnya orang tua, menurut dr Haridini merupakan salah satu bagian tersulit dalam penanganan kanker anak.
"Pertama sih begitu anak terdiagnosis, itu acceptance atau penerimaan dari keluarga. Karena ini tuh banyak banget, dia (orang tua) mesti mengerti dan tahu," ujar Haridini.
Tak berbeda dengan dr Haridini, Dr Allenidekania, S.Kp, M.Sc, Ketua Ikatan Perawat Anak Indonesia (IPANI) juga membagikan pengalaman serupa ketika mendampingi orang tua dari anak pengidap kanker.
"Misalnya ada orang tua yang anaknya baru didiagnosis, tentu mengagetkan dan tidak setiap orang siap dengan diagnosis kanker. Apalagi anak masih terlalu kecil. Yang muncul di benak orang tua biasanya, 'Saya salah apa sehingga anak saya begini?' Untuk sampai ke penerimaan bahwa anaknya sakit, dibutuhkan informasi yang benar bahwa kanker anak itu bukan kesalahan orang tua," tutur Alleni.
"Orang tua butuh informasi yang benar dan diyakinkan bahwa 'saya harus bantu anak saya'. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, kaget, tapi (tindakan pengobatan) kan harus segera," lanjutnya.
Ketika hendak mengambil keputusan, orang tua membutuhkan banyak tambahan informasi untuk meyakinkan pilihan mereka. Menurut Alleni, saat-saat seperti inilah dokter dan perawat harus selalu siap memberikan bantuan dan dukungan.
"Komitmen, fisik, dan mental orang tua harus kita support. Ada orang tua yang masih galau. Anak sudah ikut kemoterapi tapi sebenarnya dia masih galau, 'Respons nggak sih obatnya?' Atau saat dokter bilang, 'Ini diulang lagi, ya, siklusnya karena nggak respons (obatnya).' Nah itu tambah stres. Yang kayak gitu perlu dikuatkan. Pemberian asuhan psikososial untuk keluarga juga penting, tidak fokus ke anak saja," jelasnya.
NEXT: Pendampingan di masa-masa sulit, bahkan hingga saat terakhir
Senada, Yuliana Hanaratri, BSN, MA-Nursing, Former co-chair International Society of Paediatric Oncology (SIOP) 2019-2022 sekaligus dosen ilmu keperawatan Mayapada Nursing Academy, juga menekankan pentingnya peran perawat dalam mendampingi orang tua hingga mereka bisa menerima kondisi anaknya.
"Biasanya perawat bersama psikolog mendampingi dan membantu keluarga agar bisa menerima. Penting banget agar keluarga dikuatkan untuk itu. Pasti ada keluarga yang menerima, menolak, dan marah terhadap proses kehilangan. Kita sebagai perawat harus menempatkan diri kita ke dalam situasi," ujar Ns Yuliana kepada detikcom, Selasa (7/2/2023).
"Empati. Kita hadir dengarkan keluarga. Kita dampingi," tuturnya.
Meski melalui hari-hari dengan penuh air mata, Maylan tetap melakukan segala yang bisa ia lakukan untuk kesembuhan anaknya. Ia tetap berjuang hingga titik terakhir.
"Semua anak itu titipan Tuhan yang harus kita pertanggungjawabkan. Apapun yang terjadi, dia bukan milik kita, dia hanya titipan Tuhan yang orang tua berkewajiban untuk merawat dan mempertanggungjawabkan apa yang telah dititipkan. Jadi kita tetap harus berjuang bagaimana pun caranya untuk mencapai kesembuhan walaupun Tuhan berkehendak lain," ucap Maylan.
Mengenal Perawatan Paliatif
Pada pasien-pasien stadium lanjut, tim medis pada umumnya akan memberikan apa yang disebut sebagai perawatan paliatif atau palliative care. Perawatan ini diberikan ketika tubuh pasien sudah tidak merespons dengan baik obat-obatan yang diberikan ketika menjalani berbagai rangkaian terapi dan pengobatan.
Menurut Ns Meidiana Bangun, MKep, SpKep An, tujuan utama perawatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis, termasuk kanker. Fokus perawatan paliatif adalah keluarga dari pasien itu sendiri.
"Kadang orang bilang paliatif itu 'sudah nggak ada harapan. Kalau masuk paliatif ujung-ujungnya meninggal.' Nggak juga. Tetap kita berikan pengobatan, tapi sesuai yang diperlukan supaya kualitas hidupnya baik," ungkap Ns Meidiana kepada detikcom, ketika ditemui di RSCM, Jumat (10/2/2023).
Sementara itu, Ns Yuliana menjelaskan bahwa perawatan paliatif ini ditujukan untuk menyiapkan kualitas hidup pasien di saat-saat terakhirnya atau disebutnya 'dignity of dying'. Obat dan tindakan medis yang diberikan hanya untuk meringankan gejala, bukan untuk menyembuhkan secara total. Tim medis perlu menghormati keputusan pasien jika sudah 'menyerah'.
Simak obrolan tentang kanker tulang osteosarkoma dan kanker mata retinoblastoma dalam rangka Hari Kanker Anak Internasional 2023, hari ini mulai pukul 13.00 WIB melalui tautan berikut: https://www.detik.com/harikankeranak











































