Hari Kanker Anak

Bisakah Sembuh dari Kanker Darah? Ini Pengalaman Penyintas Leukemia

Celine Kurnia - detikHealth
Jumat, 17 Feb 2023 07:46 WIB
Cerita penyintas leukemia tentang jatuh bangun berjuang melawan kanker pada anak (Foto: Getty Images/Image Source)
Jakarta -

Sabrina Alvie Amelia baru berusia 3 tahun ketika mengalami gejala yang tak biasa. Ketika itu, ia mengeluhkan lemas, nyeri, lesu, dan semacamnya. Kecurigaan mengarah ke anemia alias kurang darah.

"Akhirnya aku masuk di RS di Yogya. Dinyatakan anemia awalnya. Karena anemia, diminta transfusi darah kurang lebih 2 bulan," cerita Alvie, sapaannya, dalam perbincangannya dengan detikcom, Senin (13/2/2023).

Dugaan anemia sampai mengharuskan Alvie menerima transfusi darah. Tidak tanggung-tanggung, dalam sebulan ia membutuhkan sekitar 40 kantong darah.

Awalnya, Alvie merasa lebih segar setelah transfusi di rumah sakit. Akan tetapi, setelah pulang tubuhnya kembali lemas. Kondisi ini terus berulang.

"Aku masih 3 tahun saat itu dan aku bosen. Aku diajak jalan-jalan sama orang tua ke kebun binatang. Karena saking lemas dan kakinya linu, jadi jatuh. Nggak bisa jalan sejak itu," tutur Alvie.

Kecurigaan muncul setelah orang tua Alvie menyadari keluhan buah hatinya tidak kunjung teratasi. Mereka memutuskan membawa Alvie ke RSUP Dr Sardjito di Yogyakarta. Setelah melakukan tes darah dan tes-tes lainnya, Alvie kecil didiagnosis mengidap kanker darah.

Sejak saat itu, semua berubah. Hari-hari Alvie dihabiskan untuk menjalani serangkaian terapi. Proses kemoterapi yang dijalaninya selama kurang lebih 2 tahun menjadi tantangan tersendiri, terlebih saat keluarganya juga harus menghadapi berbagai kesulitan finansial.

"Kesulitan biaya iya karena zaman dulu belum ada BPJS. Kalau dari asuransi kebetulan keluarga belum punya jadi mengandalkan bantuan dari kantor orang tua. Apa pun yang bisa dijual, dijual. Jadi dari segi finansial terbebani banget," ungkapnya.

Tak hanya itu, obat yang dibutuhkan juga tidak mudah didapat. Ayah Alvie sempat tidak bisa menemukannya di Yogyakarta, sehingga harus berburu ke berbagai apotek dan rumah sakit. Ketika itu, ada obat yang hanya bisa mereka dapatnya di Jawa Tengah.

Alvie mengaku sempat dibawa beroba ke alternatif. Menurutnya, kurangnya informasi membuat orang tuanya tergerak untuk mengambil langkah tersebut. Namun karena tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, orang tuanya kembali membawanya berobat ke rumah sakit.

"Dulu di tahun 2000 benar-benar kondisinya orang tua aku 'kan nggak ada riwayat kena kanker. Nah jadi kita sangat buta terhadap informasi kanker. Saat di rumah sakit (tempat) aku berobat dulu juga informasi sangat terbatas. Merasa kayak sendiri," kata Alvie.

Dalam banyak kasus, inisiatif untuk pergi ke alternatif kerap berdampak fatal. Terapi medis yang seharusnya harus disegerakan, malah tertunda dan sel-sel kanker telanjur menyebar.

Konsultan onkologi tulang di RS Cipto Mangunkusumo, dr Yogi Prabowo, SpOT(K) Onk, mengaku kerap mendapati pasien kanker anak yang terlambat mendapat penanganan karena menunda pemeriksaan. Umumnya, pasien lebih dulu mencoba-coba pengobatan alternatif.

"Yang menjadi permasalahan karena budaya masyarakat kita tidak segera membawa ke rumah sakit atau dokter yang tepat. Seringkali menjalani pengobatan alternatif, diurut, dipijat. Nah itu juga bisa memicu pertumbuhan (kanker) yang lebih cepat," papar dr Yogi dalam kesempatan terpisah.

NEXT: Masa-masa kangen bermain dengan teman sebaya




(up/up)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork