Orang Tua Support System Paling Utama Saat Anak Digerogoti Kanker

Hari Kanker Anak

Orang Tua Support System Paling Utama Saat Anak Digerogoti Kanker

Charina Elliani, Celine Kurnia - detikHealth
Sabtu, 25 Feb 2023 07:20 WIB
Orang Tua Support System Paling Utama Saat Anak Digerogoti Kanker
Hari kanker anak internasional 2023 (Foto: Getty Images/iStockphoto/Sewcream)
Jakarta -

Sebagian besar masyarakat mungkin menganggap kanker adalah penyakit mematikan dan merenggut nyawa, terutama jika dialami anak-anak. Namun, kanker anak sebenarnya tidak harus selalu demikian. Asal diketahui sejak awal gejala dan diobati pada dokter yang tepat, tidak menutup kemungkinan anak berhasil menjadi penyintas hingga ia dewasa. Oleh sebab itu, di sini orang tua memainkan peran penting sebagai pihak pertama yang harus menyadari gejala kanker dan penentu keputusan pengobatan anak.

Pentingnya peran orang tua dirasakan oleh survivor kanker mata retinoblastoma, Ine Ratnasari. Saat berusia 3 tahun, orang tuanya melihat ada kejanggalan di mata sebelah kiri Ine. Ketika diperiksa ke RS dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Ine didiagnosis mengidap retinoblastoma stadium 1.

"Memang harus diangkat (matanya). Kalau anak masih kecil sudah diangkat matanya 'kan 'Aduh kasian. Sayang.' Untung saat itu orang tua mikirnya mending kehilangan mata satu daripada kehilangan nyawa," kata Ine dalam perbincangan dengan detikcom, Sabtu (11/2/2023).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ine pun menjalani operasi pengangkatan bola mata saat menginjak usia 4 tahun. Setelah menjalani 17 kali kemoterapi dan radiasi, ia dinyatakan sembuh di usia 5 tahun hingga saat ini.

Prof dr Rita Sita Sitorus, PhD, SpM(K), spesialis mata anak dari RS Cipto Mangunkusumo mengatakan deteksi retinoblastoma sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Sel kanker belum menyebar ke organ tubuh lain seperti otak sehingga pengobatan pun dapat meningkatkan angka kesintasan.

ADVERTISEMENT

"Makin dini, makin tinggi angka kesembuhannya, baik secara fungsi, secara ditahannya bola mata nggak diangkat, dan secara kehidupan. Masalahnya di Indonesia (stadium) lanjut," kata Prof Rita ketika ditemui detikcom di Jakarta Pusat, Jumat (3/2).

Ia mengungkapkan banyak kasus retinoblastoma di Indonesia yang menyebabkan kematian. Hal ini bisa terjadi karena misdiagnosis tim medis atau orang tua terlambat membawa anak ke rumah sakit untuk diobati. Sebagian orang tua menolak mata anak diangkat. Mereka menunggu keputusan keluarga besar. Padahal operasi harus segera dilakukan.

"Takut, kulturnya. Kultur kita 'kan tunggu ngomong dulu sama kakeknya, neneknya, tapi 'kan harus cepat nih. 1-2 minggu, terlambat. Begitu dia sudah bengkak, baru datang. Udah lain lagi ceritanya. Target kita sekarang menekan angka kematian, bukan lagi mempertahankan fungsi (mata)," ujar Prof Rita.

Prof Rita menambahkan sebagai upaya deteksi dini, perlu dilakukan screening pada bayi yang keluarganya memiliki riwayat retinoblastoma. Bayi perlu di-screening sejak lahir dan berturut-turut setiap periode tertentu.

Penyintas kanker anak lainnya pun menceritakan pentingnya peran orang tua terhadap kesembuhan dirinya. Sabrina Alvie Amelia adalah penyintas leukemia. Ketika berumur 3 tahun, awalnya ia merasakan gejala seperti lemas, nyeri dan lesu. Orang tua Alvie segera membawanya ke rumah sakit di Yogyakarta. Diagnosis awal adalah anemia.

Alvie menjalani transfusi darah sekitar dua bulan. Ia pun membutuhkan 40 kantung darah setiap bulannya. Alvie mengaku merasa segar setelah ditransfusi, tetapi kembali lemas setelah pulang ke rumah. Kondisi ini terus berlanjut sampai suatu hari Alvie jatuh di kebun binatang dan tidak bisa berjalan.

"Orang tua curiga kok sampe 3 bulan anemianya nggak sembuh-sembuh. Akhirnya dibawa ke RS Sardjito di Yogyakarta. Tes darah segala macam. Terdiagnosis kanker darah," ungkap Alvie ketika dihubungi detikcom, Senin (13/2).

Kecurigaan dan kecepatan orang tua membawa Alvie berobat membuahkan hasil manis. Alvie mulai menjalani kemoterapi selama 2 tahun dengan masa observasi 5 tahun. Setelah melewati masa observasi, Alvie dinyatakan bebas obat sampai sekarang.

NEXT: Harus langsung periksa begitu ada gejala

Menurut dr Haridini Intan Setiawati, SpA(K), dokter spesialis anak konsultan hematologi onkologi dari RS Kanker Dharmais, gejala leukemia memang mirip dengan penyakit lain misalnya DBD sehingga menimbulkan kerancuan. Gejala tersebut antara lain pendarahan (mimisan), muncul bintik-bintik merah atau biru, anak pucat, dan perut membesar.

"Bahkan sampai dokter anak pun juga nggak paham. Makanya dia harus periksa darah lengkap," ucap dr Haridini ketika ditemui detikcom di RS Kanker Dharmais, Kamis (2/2).

dr Haridini berharap masyarakat 'melek' terhadap kesehatan, khususnya jika anak mengalami gejala-gejala konvensional. Bisa jadi itu merupakan gejala kanker yang harus ditangani dengan cepat.

Salah seorang perawat kanker anak di RSCM, Eny Kusrini, SKep, Ns memiliki pengalaman terkait leukemia pada anak. Ia memiliki tetangga yang orang tuanya sangat aware terhadap kesehatan anak. Setiap demam, mereka langsung memeriksakan anak ke dokter.

"Ternyata leukositnya tinggi di atas 100 ribu. Dia langsung kontak ke dokter anak, langsung konsul ke dokter hemato. Terdiagnosis leukemia high risk. High risk itu lebih berat untuk kemonya. Tapi alhamdulilah dengan perawatan yang benar-benar, di rumah juga orang tuanya support," ujar Ns Eny kepada detikcom di RSCM, Jumat (10/2).

Ia mengatakan orang tua itu menjaga pola makan dan kebersihan lingkungan sekitar anaknya. Ketika ayahnya pulang kerja, anak dipindahkan ke kamar lain yang steril. Lantai benar-benar dibersihkan menggunakan lap tangan, bukan tongkat pel.

"Sekarang survivor. Anaknya sudah pintar. Jadi jangan menganggap remeh keluhan nyerinya anak," ungkapnya.

Pendapat senada juga disampaikan former co-chair SIOP GHN Working Group 2019-2022 sekaligus dosen keperawatan Mayapada Nursing Academy, Yuliana Hanaratri, BSN, MA-Nursing juga menekankan kanker anak harus diketahui sedini mungkin. Jika anak sudah menunjukkan gejala seperti demam atau ada pembengkakan, segera minta pertolongan tim medis agar pengobatan tidak terlalu kompleks dan kemungkinan anak survive lebih tinggi.

"Ini harus disadari tenaga kesehatan, tapi keluarga itu sangat penting. Peran keluarga penting banget. Keluarga merupakan bagian dalam perawatan anak. Mitra perawat," ucap Ns Yuliana ketika ditemui detikcom di Lebak Bulus, Selasa (7/2).

"Kalau anak usia dini sebenarnya tidak terlalu (sulit dirawat) ya, hanya mengeluh. Tapi bagaimana kita harus bekerja sama dengan orang tua. Kalau orang tua bisa, mau, dia tentu akan mendukung anaknya. Orang tua adalah support system yang pertama dalam pengobatan kanker," tambah Ns Yuliana.

Dr Allenidekania, SKp, MSc, Ketua Ikatan Perawat Anak Indonesia (IPANI) mengatakan seringkali orang tua kaget dan sedih setelah anak didiagnosis kanker. Orang tua mungkin menyalahkan diri sendiri. Maka dari itu, mereka perlu diedukasi bahwa memang anak sudah ditakdirkan mengidap kanker dan diyakinkan untuk ikut serta dalam pengobatan.

"Dia butuh informasi yang benar dan diyakinkan bahwa saya harus bantu anak saya nih. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kaget. Tapi 'kan harus segera. Setelah didiagnosis nggak bisa ditunggu. Setelah dikasih informasi orang tua harus segera memutuskan," tutur Ns Alleni.

Ikuti rangkaian kegiatan Hari Kanker Anak Internasional 2023 di Tribeca Park - Central Park Mall, Jakarta Barat, Minggu 26 Februari 2023 mulai pukul 09.00 WIB.

Daftar di http://dtk.id/harikankeranak untuk berpartisipasi dalam gerakan #BeraniGundul sebagai dukungan terhadap anak-anak yang berjuang melawan kanker. Info selengkapnya KLIK DI SINI.

Halaman 2 dari 2
(up/up)
Hari Kanker Anak Internasional 2023
19 Konten
Hari kanker anak sedunia atau hari kanker anak internasional diperingati setiap tanggal 15 Februari. Leukemia, osteosarkoma, dan retinoblastoma termasuk jenis kanker yang paling sering ditemukan pada anak.

Berita Terkait