Seorang siswa SD di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, nekat mengakhiri hidupnya pada Senin (27/2/2023). Polisi menyebut kasus bunuh diri tersebut disebabkan siswa kerap mengalami bullying.
Kasi Humas Polresta Banyuwangi Iptu Agus Winarno menyebut bocah berinisial MR (11) yang merupakan anak yatim itu, mengalami depresi karena sering dibully teman sebayanya karena tidak punya ayah. Sebelumnya, korban sering tampak murung setelah pulang sekolah.
"Berdasarkan keterangan keluarga, korban selalu mengeluh sering diolok-olok temannya kalau anak yatim tidak punya bapak. Dan setiap pulang ke rumah selalu menangis dan dongkol," kata Agus yang dikutip dari detikJatim, Kamis (2/3/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berkaca dari kasus tersebut, bullying ternyata memberikan efek yang sangat besar. Hal ini bisa terjadi pada semua usia, termasuk anak-anak.
Menurut pakar psikologi anak Universitas Negeri Semarang (UNESA), Riza Noviana Khoirunnisa, SPsi, MSi, anak akan merasa terisolasi secara sosial, tidak memiliki teman dekat, dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan keluarga.
"Ini bisa menjadi trauma panjang. Trauma ini mempengaruhi penyesuaian diri anak dengan lingkungan, terutama sekolah," jelas Riza yang dikutip dari laman resmi UNESA, Kamis (2/3).
"Beberapa penelitian menunjukan, bullying menjadi faktor utama yang bisa mempengaruhi prestasi akademik hingga putus sekolah," sambungnya.
Tak hanya pada korban, bullying juga memberikan efek yang negatif pada si pelaku. Hal ini membuatnya memiliki empati yang minim dalam interaksi sosial. Si anak biasanya mengalami perilaku abnormal, hiperaktif, hingga prososial.
Maka dari itu, peran orang tua dan guru di sekolah menjadi sangat penting. Ini bertujuan agar keduanya bisa memantau perkembangan anak saat di sekolah dan di rumah, untuk mencegah terjadinya perilaku bullying.
(sao/vyp)











































