Akhir-akhir ini kasus bayi usia 16 bulan yang memiliki berat badan 27 kg di Bekasi, Jawa Barat menjadi perhatian banyak orang. Memang, kasus obesitas ekstrim seperti ini tidak sering ditemukan. Terlepas dari itu, faktanya kasus obesitas pada anak saat ini meningkat pesat di seluruh dunia.
Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi, dr Frida Soesanti SpA(K) menjelaskan bahwa tidak ada faktor tunggal penyebab obesitas, termasuk jenis makanan. Sebagian besar penyebab obesitas pada anak adalah faktor eksogen atau faktor dari lingkungan luar. Dimulai dari orang tua yang membiarkan anak makan berlebihan dan mengonsumsi makanan tinggi kalori tanpa disertai aktivitas fisik yang cukup.
"Ada pandangan dari keluarga bahwa anak gendut itu lucu. Padahal kalau kita tahu konsekuensinya, anak obesitas itu tidak ada lucu-lucunya sama sekali," terang dr Frida kepada detikcom, Senin (6/3/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konsekuensi yang dimaksud adalah munculnya komplikasi serius akibat obesitas, seperti diabetes tipe 2, kolesterol tinggi, hingga perlemakan hati yang datang lebih awal.
Sekretaris Unit Kerja Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini lebih lanjut menjelaskan bahwa faktor internal seperti kelainan genetik dan faktor gangguan hormonal bisa menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas. Akan tetapi, kasusnya relatif kecil dibandingkan dengan obesitas yang disebabkan gaya hidup tidak sehat.
"Tetapi umumnya obesitas karena kelainan genetik atau hormonal, tidak disertai peningkatan tinggi badan. Jadi anaknya pendek tetapi gemuk. Sementara pada anak yang kelebihan berat badan, tinggi badannya kan juga bertambah. Syndrome karena kelainan genetik biasanya disertai dengan gejala lain, misalnya kelainan mata atau jantung," jelasnya.
Cegah Sejak Dini
Orang tua perlu memantau tumbuh kembang anak sejak dilahirkan guna mencegah anak terkena obesitas. Ukur tinggi dan berat badan anak secara rutin, minimal saat datang imunisasi. Perhatikan pula kenaikan berat badan. Saat anak mengalami kenaikan berat badan yang tidak wajar, pastikan proporsi dengan tinggi badannya seimbang.
"Pada anak kita menggunakan kurva pertumbuhan karena memperhitungkan penambahan tinggi badan. Jika berat badan anak menurut tinggi badannya lebih dari 120 persen maka sudah termasuk obesitas," ungkap dr. Frida.
Menurutnya, penanganan obesitas pada anak perlu kerja sama dari seluruh anggota keluarga. Minimal orang tua memahami jenis-jenis makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh anak.
Hal senada disampaikan oleh dr. Diana F Suganda, M Kes, SpGK, dari RSPI Bintaro Jaya, menurutnya salah satu bentuk edukasi gizi di dalam keluarga adalah calon orang tua mesti memiliki ilmu gizi yang cukup. Edukasi ini bisa dilakukan jauh sebelum merencanakan pernikahan, saat hamil, melahirkan, dan seterusnya.
"Prinsipnya makan dengan kebutuhan kalori sesuai kelompok usia. Orang tua harus paham hal ini untuk menghindari asupan kalori berlebih pada anak sehingga terhindar dari risiko obesitas," ujar dr Diana.
Komposisi gizi seimbang yang dibutuhkan anak berupa karbohidrat, protein hewani dan protein nabati, serta zat gizi mikro lainnya. Pastikan makan sesuai kebutuhan anak dan kelompok usia tumbuh kembangnya. Cara paling direkomendasikan adalah dengan membuat jadwal makan 3 kali sehari dan 2 kali snack.
"Pastikan menunya berwarna-warni karena yang berwarna-warni pasti sehat, berarti di situ ada buah dan sayuran," jelasnya.
(Dinda Zahra/kna)











































