"Kita tentunya akan melakukan pembinaan terhadap pengobatan tradisional ataupun tenaga penyehat tradisional (hatra) termasuk bahwa hatra memiliki STPT (surat terdaftar penyehat tradisional)," terang dr Nadia saat dihubungi detikcom Selasa (4/4/2023).
"Adapun rujukan regulasinya, PP Nomor 103 Tahun 2014 ttg Pelayanan Kesehatan Tradisional, PERMENKES Nomor 15 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer, PERMENKES Nomor 61 Tahun 2016 Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris," lanjutnya.
Soal pelayanan kesehatan tradisional integrasi dengan layanan kesehatan konvensional juga diatur dalam PERMENKES nomor 37 Tahun 2017. Menurut dr Nadia, sah-sah saja masyarakat mendatangi pengobatan tradisional sebagai alternatif.
Namun, perlu diingat, untuk tidak sembarang membawa sederet kasus ke pengobatan semacam ini. Misalnya, jenis penyakit yang rentan berisiko fatal seperti kanker.
"Kita lakukan pembinaan supaya masyarakat tidak dirugikan, misalnya seseorang yang penyakit kanker jangan sampai terlambat karena berobat tradisional," tuturnya.
"Padahal sudah ada metode yang memang bisa menyembuhkan 100 persen kalau dilakukan pengobatan pada stadium dini," sambungnya.
Terpisah, pengamat masalah kesehatan Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia menyebut tingginya minat warga pada alternatif adalah salah satu gambaran buruknya akses layanan kesehatan Indonesia. Kebanyakan dari mereka biasanya tidak memiliki pilihan lain selain mendatangi pengobatan tradisional, lantaran beban 'ongkos' pengobatan di RS terlampau mahal.
Belum lagi di sejumlah daerah atau wilayah terpencil yang minim dokter spesialis hingga persoalan rendahnya kepercayaan masyarakat pada tenaga medis imbas kasus malpraktik tertentu. Ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Simak Video 'Ida Dayak Viral, Kemenkes Imbau Warga Tak Asal Berobat Alternatif':
(naf/up)