Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Banten, dr Ahmad Mekkah H, SpPD, MSc. MKes dalam podcast di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tangerang memaparkan sejumlah wanti-wanti pada pengidap obesitas di Indonesia, termasuk terkait pola makan nasi.
"Kalau di Indonesia itu kan, bahasanya, orang kalau belum ketemu nasi-makan banyak karbohidrat, belum makan katanya, atau, kita sekarang lagi diserang oleh banyak restoran cepat saji. Yang paling banyak mempengaruhi adalah pola makan," kata dr Admad dalam sesi bincang daring, Kamis (6/7/2023).
Pola makan nasi memang sudah mendarah daging di Indonesia. Namun perlu ketahui, nasi nyatanya mengandung banyak karbohidrat, salah satu penyebab dari obesitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya, 100 gr nasi putih mengandung 130 kalori dan 29 gram karbohidrat. Kandungan ini diperparah dengan tidak adanya serat yang cukup. Oleh karena itu, nasi menjadi penyebab dari perut buncit dan tubuh gemuk.
Trik Orang Jepang Tetap Makan Nasi Tanpa Gendut
Sama seperti di Indonesia, warga Jepang kerap kali makan nasi putih sebagai makanan pokok sehari-hari. Bahkan, di Jepang nasi tak sekadar sebagai konsumsi makanan, namun sama seperti simbol kehidupan.
Di Jepang, nasi dianggap sebagai "Hinomoto no Megumi" atau "Harta Karun Asli Jepang". Nasi melambangkan kehidupan, kesehatan, dan keberlimpahan. Selain berfungsi sebagai sumber penting energi dan nutrisi bagi masyarakat Jepang, kehadiran nasi di meja makan memberikan kesan nyaman dan kehangatan dalam hidangan sehari-hari.
Dengan pola makan yang sama, antara Indonesia dan Jepang, mengapa kasus obesitas lebih banyak dilaporkan di Tanah Air? Begini penjelasannya.
1. Melakukan Aktivitas Fisik
Meski makan nasi tiga kali sehari, orang Jepang selalu mengimbanginya dengan aktivitas fisik yang memadai. Hal ini dilakukan untuk membakar kalori.
Di Jepang, orang-orang terkenal gemar berjalan kaki, salah satu bentuk aktivitas fisik yang efektif untuk membakar kalori. Sebab, minimnya aktivitas fisik membuat seseorang lebih sulit membuang lemak berlebih, terutama di bagian perut.
Melihat kebiasaan orang Jepang tersebut, dr Ahmad juga mengaminkan bahwa kondisi orang yang malas gerak atau kurang beraktivitas berpotensi memicu obesitas.
"Selain genetik, faktor lain (obesitas) seperti gaya hidup, dari pola makan, kemudian mager (malas gerak), atau kurang aktivitas, kurang olahraga," kata dr Ahmad.
2. Pola Makan Seimbang
Orang Jepang cenderung lebih memilih ikan daripada daging merah dalam konsumsi makanan mereka. Mereka memiliki kecenderungan yang kuat terhadap sayuran, makanan asinan, dan makanan dengan proses fermentasi sebagai pendamping dari sepiring kecil nasi.
"Kalau orang Indonesia kebanyakan konsumsi kalori di atas 2 ribu dan kualitas makanannya nggak bagus, kurang sehat kurang serat, terlalu banyak karbohidrat juga," kata spesialis penyakit dalam dr Indra Wijaya, MKes, SpPD-KEMD, FINASIM, FACP kepada detikcom, Rabu (24/5/2023).
Di Jepang, prinsip utamanya adalah mengatur pola makan yang sehat dan seimbang. Pemerintah Jepang juga telah menerapkan Hukum Dasar Shokuiku, yang mewajibkan program pendidikan gizi di sekolah untuk membantu anak-anak mengembangkan kebiasaan makan yang sehat dengan menggunakan konsep shokuiku.
Konsep Shokuiku mendorong individu untuk mempertimbangkan dampak makanan tertentu terhadap perasaan mereka. Hal ini juga mengajarkan pentingnya berhenti makan sebelum merasa terlalu kenyang.
3. Makanan Fermentasi
Orang Jepang memiliki kecenderungan yang besar terhadap makanan yang mengalami proses fermentasi, seperti natto dan miso. Makanan ini umumnya dikonsumsi sebagai bagian sarapan dan terbukti bermanfaat bagi kesehatan usus dan pencernaan.
Kebiasaan ini berkontribusi pada tingkat obesitas yang rendah di Jepang, menjadikannya salah satu yang terendah di dunia. Selain itu, orang-orang di Jepang juga memiliki harapan hidup yang lebih panjang.
Simak Video "Video: WHO Keluarkan Pedoman Baru Syarat Terapi GLP-1 untuk Obesitas"
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)











































