Akhir hidup ilmuwan dan mantan direktur Eijkman Prof dr Achmad Mochtar sungguh tragis. Dia dieksekusi oleh tentara Jepang karena dituduh menyabotase vaksin.
Saat itu sejumlah dokter dan ilmuwan dieksekusi tentara Jepang setelah lebih dari seribu romusha di Jakarta tewas usai divaksin TCD (Typhus Cholera Dysentery) pada tahun 1944. Tak tega melihat rekannya mendapat siksaan kejam, dr Achmad Mochtar meminta para peneliti dibebaskan dengan dirinya dieksekusi pada 3 Juli 1945.
Ia lalu dikuburkan secara massal bersama dokter lain yang tewas di dalam tahanan, dan saat itu tidak seorangpun tau di mana letak makamnya. Melalui investigasi yang dilakukan oleh penerusnya, Direktur Lembaga Eijkman saat itu Prof Sangkot Marzuki, dan koleganya, Kevin Baird, berhasil menemukan makam Achmad Mochtar di Ereveld, Ancol pada tahun 2010.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekilas tentang kematian dr Achmad Mochtar
Pada Juli 1944, sebuah kampung romusha di Klender geger setelah ratusan romusha tewas usai vaksin TCD. Pemberian vaksin saat itu dilakukan oleh Lembaga Pasteur Bandung yang dikelola militer Jepang.
Dalam catatan Science Magazine edisi 2 Juli 2010, pekerja romusha mengidap penyakit dengan gejala tetanus. Saat itu tentara Jepang meminta dokter dari Eijkman mengobatinya.
Setelah dilakukan uji laboratorium, peneliti lembaga Eijkman menemukan kontaminasi racun tetanus dalam vaksin yang diberikan kepada romusha. Namun kekaisaran Jepang tak terima kemudian menuduh peneliti Eijkman punya skenario sendiri di balik kasus itu dan mereka akhirnya dipenjara.
Para tawanan mengatakan bahwa mereka disiksa dengan disetrum, dibakar dan dituang air. Seorang dokter tewas ketika sedang disiksa dan seorang lainnya mati di dalam tahanan.
Orang-orang di Institut Eijkman yang selamat dibebaskan pada bulan Januari 1945 kecuali dr Mochtar. Diduga dr Mochtar meyakinkan agar mereka dibebaskan dibebaskan dengan imbalan bersedia menjadi tahanan.
Butuh waktu 65 tahun, sejak kematiannya, untuk mengungkap penyebab kematian dr Achmad Mochtar itu. Proses pencarian kebenaran itu oleh 2 ilmuwan, Prof J Kevin Baird dan Prof Sangkot Marzuki diabadikan dalam buku "War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine".
(kna/kna)











































