Pasien BA yang meninggal dengan kondisi mati batang otak pasca operasi amandel disebut sempat dirujuk ke 80 RS se-Jabodetabek. Kondisi bocah tujuh tahun asal Bekasi tersebut diyakini tenaga medis sudah tidak memungkinkan untuk melakukan perawatan lebih lanjut di tengah keterbatasan RS Kartika Husada Jatiasih sebagai tipe C, salah satunya ketidaktersediaan MRI hingga CT Scan.
Komisaris sekaligus pemilik RS Kartika Husada Jatiasih dr Nidya Kartika Yolanda mengungkap alasan di balik kemungkinan penolakan 80 RS. Kasus telanjur viral, banyak pihak yang tidak ingin nantinya terlibat dalam proses hukum.
"Ini kan ada kasus hukum, di mana-mana rumah sakit tidak mau menerima karena takut terbawa-bawa. Di sana kesulitan kami sebenarnya," tutur dr Nidya dalam konferensi pers Selasa (3/10/2023).
Menurut Kepala Biro Komunikasi Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi, secara regulasi sebenarnya pihak RS bisa-bisa saja menolak rujukan pasien. Namun, ia tidak bisa berkomentar banyak mengenai persisnya penolakan yang mencapai 80 RS di kasus pasien BA.
"Mungkin saja. Tapi kalau sampai 80 RS, nggak paham juga," kata Nadia saat dihubungi, Rabu (4/10).
Alasan yang ditolerir untuk penolakan rujukan juga meliputi ketersediaan sarana dan prasarana, keterbatasan RS, di luar itu tentu tidak diperbolehkan.
"Karena ruang rawatnya nggak ada atau pasien tidak stabil," sambungnya.
Pasien BA meninggal pada Senin (2/10/2023) pukul 18:45 WIB, dirinya sempat menjalani perawatan intensif dan koma selama 13 hari. Pihak keluarga melaporkan RS Kartika Husada lantaran dituding malpraktek dengan menelantarkan pasien BA, tetapi dr Nidya menyebut hal itu merupakan kesalahpahaman.
"Teruntuk keluarga pasien, terutama untuk bapak dan ibu dari adik (BA) yang kami sayangi, dari hati yang paling dalam, kami mohon dimaafkan segala kekurangan yang menimbulkan kecekcokan dan kekecewaan selama perawatan dan pengobatan," beber dr Nidya.
"Tim medis berupaya memberikan yang terbaik, insya Allah semua tindakan sudah sesuai SOP," lanjut dia.
Simak Video "Video Kasus Meninggalnya Ibu Hamil di Papua Masih dalam Audit Kemenkes"
(naf/up)