Suami dari dr Qory, yakni Willy Sulistio (39), telah ditetapkan oleh Polres Bogor sebagai tersangka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Belakangan, nama dr Qory menggema di media sosial lantaran sempat melarikan diri imbas menjadi korban KDRT.
Willy mengaku menyesal atas perbuatannya terhadap sang istri. Ia pun mengaku siap menghadapi risiko hukum.
"Menyesal, dia menyesal. Penyampaiannya dia ke kami, dia sangat menyesal," lapor Kasat Reakrim Polres Bogor AKP Teguh Kumara dikutip dari detikNews, Selasa (21/11/2023).
"Memang tindakannya dia melaporkan ke Polsek karena dia merasa kehilangan istrinya meninggalkan rumah dan penyampaiannya dia 'yang penting istri saya ditemukan dan dalam keadaan aman Pak', begitu dia bilang ke kita. 'Saya selanjutnya siap menerima resiko dari perbuatan saya', katanya begitu," sambungnya sembari menirukan pernyataan Willy.
Teguh juga menyebut, pihaknya belum menemukan motif di balik tindakan KDRT yang dilakukan Willy. Namun sejauh ini pihaknya telah mengetahui, bahwa Willy memiliki sifat mudah marah atau tempramental.
Pelaku KDRT Bisa 'Tobat'?
Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi sempat menjelaskan, pada dasarnya, tindakan kekerasan tidak hanya sekedar disebabkan oleh emosi atau ekspresi marah yang salah saja, melainkan juga cara berpikir. Umumnya, pelaku kekerasan berpikir apa yang dilakukannya adalah hal benar.
Bisa juga, tindakan itu pelaku lakukan untuk menutupi rasa takut dan tidak percaya diri. Walhasil untuk menindaklanjuti pelaku KDRT, diperlukan treatment khusus.
"Rata-rata berpikirnya dia yang selalu merasa betul atau itu adalah cara dia membungkus rasa tidak percaya dirinya, rasa takutnya, seperti takut kehilangan pasangan, takut direndahkan, takut tidak dihargai dan sebagainya," jelas Sari pada detikcom beberapa waktu lalu.
"Dengan cara dia marah supaya pihak lain itu takut sama dia. Nggak berani melukai dia atau nggak berani macam-macam," imbuhnya.
Menurutnya, akan kurang efektif jika seorang pelaku kekerasan hanya menyampaikan penyesalan dengan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Pasalnya, masih ada problema dalam diri pelaku yang belum terbereskan, sehingga ada kemungkinan suatu saat pelaku 'meledak' lagi.
Pelaku kekerasan perlu dilatih agar bisa mengendalikan ledakan emosi, serta mengatasi cara berpikir yang salah. Jika tidak demikian, Sari menyebut, tak tertutup kemungkinan pelaku kekerasan akan mengulang perbuatannya jika ada kesempatan.
"Karena kalau kapok sama laporan kepolisian, tapi jika dia lihat ada kesempatan pada korban yang memungkinkan bisa lagi menjadi lampiasannya, dia itu akan terjadi lagi (kekerasan)," tegas Sari.
"Karena aslinya dari dalam, dari respons emosinya yang pertama kali atau lagi emosional. Jangankan berpikir konsekuensi panjang, sudah jelas pasti penyesalan belakangan. Jadi, kita latih emosinya itu supaya tidak menimbulkan kekerasan, supaya tidak ada konsekuensi selanjutnya," pungkasnya.
Simak Video "Video KuTips: Coba Perhatiin, Adakah Tanda Ortu Kita Kesepian?"
(sao/kna)