Dilema Ibu yang Jadi Caleg, Tak Bisa Bawa Anak Terbentur Ancaman Pidana

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Senin, 22 Jan 2024 17:45 WIB
Ilustrasi pemilu. (Foto: Dok. Detikcom)
Jakarta -

World Economic Forum (WEF) dalam Global Gender Gap Report 2023 melaporkan Indonesia masih menghadapi krisis kesetaraan gender, mendekati peringkat terendah yakni posisi ke-92 dari 146 negara. Berada di bawah Timor Leste dan Filipina, skornya di angka 0,697.

Jika dirinci lebih lanjut, kesenjangan gender dan perempuan tertinggi tercatat di pemberdayaan politik, nilainya hanya 0,181. Hal ini sejalan dengan kenyataan partisipasi perempuan dalam kontestasi pemilu 2024 masih rendah, belum mencapai target ideal 30 persen.

Bukan tanpa alasan, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini membeberkan sengkarut masalah yang dihadapi. Dari minimnya dukungan keluarga, hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang marak dilaporkan.

"Perempuan dianggap kurang kompetitif dalam melakukan upaya pemenangan pemilu, untuk mengumpulkan suara sebagai partai, karena suara terbanyak mendapatkan kursi adalah laki-laki, ini menjadi catatan cukup ngenes, karena KPU juga sampai sekarang belum merubah aturan pembulatan ke bawah bagi jumlah representasi bakal caleg perempuan di dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023," sorotnya, dalam agenda Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Senin (22/1/2024).

Tidak hanya itu, kenyataan adanya diskriminasi bak 'melanggengkan' posisi wanita tidak cocok berada di dunia politik yang dinilai keras dan jauh dari keyakinan kultur selama ini. Belum lagi perempuan dihadapi dengan beban ganda saat menjadi ibu, menjalani proses kampanye sambil memberikan kebutuhan bagi anak, khususnya bayi baru lahir.

Tidak disediakan pula fasilitas daycare dan ruangan laktasi yang terbatas.

"Beban kerja domestik-nya dia di bawah mengikuti, sudah selesai belum masaknya? Anaknya dikasih makan belum?" beber dia.

Alih-alih mencukupi kebutuhan seperti ketersediaan daycare hingga ruang laktasi, pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan malah kerap terjadi.

Beberapa kesempatan perempuan untuk kampanye di lini masa atau media sosial pribadi juga rentan dihadapkan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Bukan fokus di visi misi, tetapi objek tubuh wanita yang kemudian dilecehkan.

"Caleg perempuan bukan dinilai dari visi misinya, tetapi ada celetukan fotonya seksi juga," sentil Titi.

Terlebih, perempuan yang berstatus ibu dengan bayi baru lahir. Mereka tentu perlu membawa anak di kesehariannya, termasuk masa kampanye, untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan di 1.000 hari terpenting pasca lahir.

Namun, kondisinya tidak memungkinkan lantaran mereka dengan usia belum termasuk hak pemilih atau kelompok anak dilarang terlibat dalam proses kampanye. Bisa terancam pidana lantaran dinilai kriminalisasi.

Titi berpandangan, pemisahan aturan perlu dilakukan berkaca dari kasus tersebut. Pasalnya, hal ini memicu dilema di ibu yang menjadi politisi.

"Politisi dengan status ibu membawa anak yang masih kecil, mereka kan kemana-mana harus membawa anak yah, sementara dalam pemilu kita kampanye dilarang melibatkan anggota negara yang belum punya hak pilih, atau dilarang melibatkan anak sehingga kalau dilanggar itu merupakan tindakan pelanggaran pemilu yang merupakan tindak pidana,

"Nah ini menjadi problem, jadi ada dilema kepada perempuan politisi sekaligus ibu, ketika dia harus melakukan langkah-langkah pemenangan tetapi berbenturan dengan sistem yang melarang pelibatan anak dalam kampanye, meskipun di sini kita juga dalam pemenegakan hukum perlu proporsional. Kalau eksploitasi ya memang harus dikriminalisasi, misalnya anak menjadi ikon kampanye karena dia lucu, itu tidak boleh. Namun, dalam konteks politisi yang punya anak, ini KemenPPPA harus memberikan atensi khusus," pungkasnya.



Simak Video "Berikut Serangkaian Tes Kesehatan Bagi Para Bakal Capres-Cawapres"

(naf/kna)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork