Pada sebuah ruangan yang cukup besar di rumahnya, Erickson mulai memainkan selantun lagu. Sederet nada tersemat sejurus dengan lincah jarinya menekan setiap tuts yang ia inginkan. Ternyata, irama itu bukanlah melodi biasa. Erickson mengatakan, lagu tanpa lirik itu khusus ia ciptakan bagi para penderita skizofrenia.
Erickson Arthur Siahaan adalah seorang dokter spesialis kejiwaan. Lepas memperoleh pendidikan di Universitas Indonesia, ia kini mengabdikan dirinya di tiga rumah sakit berbeda di wilayah Cileungsi, Jawa Barat. Meski tergolong muda, dirinya telah membuat inovasi di bidang kesehatan jiwa. Bukan sembarangan, temuannya itu bahkan sudah terdaftar di Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) pada 2022 lalu.
Kiprahnya ini seakan menjadi bukti, mimpinya untuk melayani para manusia dengan gangguan jiwa bukanlah ungkapan belaka. Sore itu, kepada tim Sosok detikcom bahwa perjumpaannya dengan masalah kejiwaan mengetuk hati Erickson untuk membantu. Baginya, keberhasilannya dalam menyembuhkan pasien gangguan jiwa adalah pencapaian yang membuatnya bahagia.
"Ya mungkin saya tidak bisa memberikan dampak yang luar biasa, atau mengubah hidup seseorang secara drastis. Tapi ketika mereka merasa ada lho yang peduli dengan mereka, bahwa pertolongan itu ada, ada seseorang yang mau menjadi pendengar yang baik, pelan-pelan mereka bisa berubah. Dari yang tadinya mungkin merasa putus asa, merasa tidak punya pengharapan lagi, merasa hidup ini sudah tidak berguna lagi, pelan-pelan kalau mereka bisa berubah lebih bisa menikmati hidup, di situ ada rasa kepuasan dalam diri saya ya. Ada rasa kepuasan dan itu tidak dapat ternilai oleh uang atau materi ya," ungkap Erickson.
Semangat itulah yang akhirnya mendorong Erickson untuk mengambil peran besar tercetusnya modul bertajuk Terapi Musik Pertama untuk Orang dengan Gangguan Jiwa di Indonesia. Panduan yang berisi tentang metode penyembuhan jiwa dengan bantuan alunan nada ini, ia susun dalam rangka merampungkan tesis sebagai dokter spesialis. Di dalamnya, modul ini berisi serangkaian daftar kegiatan penyembuhan, metode, hingga penggunaan jenis musik untuk menyelami perasaan penderita.
Ia mengakui bahwa modul ini adalah patron awal yang masih perlu dikembangkan. Ia pun juga mengatakan, kemampuan terapis dalam memainkan alat musik adalah kunci utamanya. Meski demikian, ia menyampaikan bahwa seorang dokter tidak perlu ahli dalam bermusik untuk mempraktikkan metode penyembuhan dengan teknik temuan Erickson.
"Jadi memang perlu ya kemampuan dalam bermusik, kemampuan dasar lah. Minimal kita tahu nada do-re-mi-fa-sol-la-si-do, dan juga kita tau irama, tempo. Dan juga tau bagaimana memainkan nada-nada mayor, nada-nada minor, supaya kita bisa memainkan perasaan," tuturnya.
Di balik keberhasilan Erickson dalam berinovasi, ada satu hal yang menurutnya bisa menjadi faktor penting yang bisa mendorong cepatnya proses penyembuhan penderita penyakit jiwa. Begitu krusialnya faktor ini, hingga dirinya pun pernah merasakan sendiri. Meski, dia bukan penderita melainkan penyembuh.
Pandangan miring masyarakat tentang mereka yang terluka jiwanya masih menjadi momok besar. Hal ini bahkan ditemukan Erickson saat ingin mendalami ilmu kejiwaan. Ia mengaku, keluarganya tidak setuju saat dirinya memutuskan mengambil pendidikan spesialis kedokteran jiwa.
"Ada yang bilang tuh masyarakat bilang kurang bersyukur lah, kurang- kurang iman lah, atau juga banyak terpinggirkan gitu ya, banyak terpinggirkan bahwa jangan deket-deket tuh orang yang sedang mengalami gangguan mental. Nah stigma-stigma itu yang sering terjadi di masyarakat. Pelan-pelan saya ingin patahkan gitu ya. Tidak mungkin saya bekerja sendirian di sini, perlu juga praktisi-praktisi kesehatan lainnya ya, para psikiater, psikolog, dan juga para pemerhati, pekerja-pekerja sosial, dan juga para aktivis, untuk pelan-pelan itu kita bisa sama-sama menggaungkan gitu, bahwa kesehatan mental itu adalah hak setiap orang," pungkas Erickson.
(vys/vys)