Organisasi profesi kesehatan sebelumnya mengajukan judicial review UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, September lalu, ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran dinilai sudah cacat secara formil. Setelah proses berjalan, MK di Kamis (29/2/2024) menyatakan UU Kesehatan baru tersebut dibentuk dengan keterlibatan sejumlah pihak termasuk tenaga medis, hingga masyarakat.
Artinya, proses pembentukan UU tidak bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan uji formil otomatis ditolak, sehingga UU Kesehatan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Jakarta, Kamis (29/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertimbangan MK itu didasari empat fakta hukum mengenai keterlibatan masyarakat dalam menyusun UU Kesehatan. Pertama, pemohon yang mewakili lima institusi yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), hingga Ikatan Bidan Indonesia (IBI) telah diundang untuk konsultasi publik atau public hearing dalam penyusunan Undang-Undang Kesehatan.
Kedua, Kementerian Kesehatan RI melakukan kegiatan public hearing, focus group discussion, dan sosialisasi sebagai upaya memenuhi hak masyarakat terhadap keterangan atau pendapat ahli serta masyarakat dalam pembentukan undang-undang. MK menilai hal itu merupakan forum untuk menyampaikan hak-hak organisasi profesi kesehatan, yakni hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk diberi penjelasan.
Ketiga, para saksi yang diajukan ke persidangan mengakui diundang dalam kegiatan konsultasi publik oleh Kementerian Kesehatan. Para saksi juga menyatakan dapat memberikan masukan dan saran terhadap materi muatan rancangan UU Kesehatan.
Keempat, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah memberikan akses kepada masyarakat terhadap rancangan undang-undang dan naskah akademik. Kementerian Kesehatan memberikan saluran untuk menyampaikan pendapat masyarakat melalui laman resmi, yaitu https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ dalam bentuk pengisian form pendapat dan masukan secara daring (online).
Pembentukan UU 17/2023 juga dinilai telah mengakomodir sejumlah putusan MK sebagai salah satu alasan perlunya dilakukan perubahan Undang-Undang Kesehatan meski hal itu tidak dicantumkan secara eksplisit dalam landasan yuridis RUU Kesehatan. Sebelumnya, MK memutus sejumlah perkara yang memiliki kaitan dengan substansi UU Kesehatan.
MK juga menilai proses penyusunan UU Kesehatan telah sesuai kaidah pembentukan undang-undang yang baik mengikuti metode omnibus. UU Kesehatan juga menerapkan struktur penomoran yang sistematis sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh pengguna dan pemangku kepentingan. Dengan demikian, UU Kesehatan tidak cacat formil.
Sebelumnya diberitakan, kelima organisasi profesi kesehatan menilai sejak dibentuknya UU Nomor 17 Tahun 2023, tidak ada keterlibatan dan partisipasi publik yang substansial.
"Ada beberapa yang menjadi alasan permohonan, yang pertama adalah prosesnya ini tidak melibatkan ketentuan sebagaimana pasal 22D ayat 2 UUD 1945," tutur Joni Tanamas, SH Kuasa Hukum Organisasi Profesi Kesehatan saat ditemui di Mahkamah Konstitusi, Selasa (19/9/2023).
"Meaningful participation yang tidak terpenuhi, meaningful participation ini bukan hanya kata-kata melainkan putusan tentang partisipasi keterlibatan bermakna, masyarakat berdampak, dan yang berkepentingan," beber Joni.
Dalam hal ini, ditegaskan Joni, IDI dan organisasi profesi lain bukan hanya berkepentingan melainkan sebagai aktor di balik tugas pemenuhan pelayanan kesehatan. Karenanya, memiliki hak untuk dipertimbangkan, didengarkan, dan diberikan alasan jika usulan partisipasi tidak diterima.
Simak Video "Video: Penjelasan Dokter soal Gigi Bungsu Harus Dicabut atau Tidak"
[Gambas:Video 20detik]
(naf/kna)











































