Kasus masalah mental di China meningkat pesat pasca nyaris tiga tahun dihadapkan dengan pembatasan COVID-19. Kecemasan, perasaan merasa diri tidak berguna, hingga depresi adalah masalah psikologis paling sering dialami warga China tahun lalu, berdasarkan hasil survei di lebih dari 40 ribu orang.
"Pengeluaran tahunan untuk konseling selama tiga tahun terakhir rata-rata 6.500 yuan atau Rp 14 juta per orang, dan 90 persen klien memiliki gelar sarjana atau lebih tinggi," kata populasi survei.
Kelompok ini disurvei sebagai bagian dari Laporan Wawasan Populasi Industri dan Kesehatan Mental 2023-2024.
Lu Fang, seorang penerjemah senior berusia 40-an yang tinggal di Guangzhou, mengalami stres karena takut di-PHK dan sedang menghadapi kerugian investasi. Hal yang lebih parah lagi terhadap kesehatan mentalnya adalah uang sebesar US$300.000 atau setara Rp 4,8 miliar yang ia tabung untuk menghidupi putrinya tampaknya tidak cukup, lantaran biaya hidup belajar di luar negeri khususnya Amerika Serikat dan Eropa membutuhkan biaya lebih dari itu.
Kekhawatiran itu hampir menghancurkannya sampai akhirnya dirinya mencari bantuan profesional pada bulan Februari. Dia membeli paket delapan sesi tatap muka satu jam dengan harga masing-masing 850 yuan atau Rp 1,8 juta.
"Saya mulai menerima konseling psikologis seminggu sekali," kata Lu. "Itu sepadan dengan uang yang dikeluarkan. Meskipun sulit untuk mengatakan betapa bermanfaatnya hal itu pada akhirnya, saya merasa lega."
"Saya akan merekomendasikan konseling kepada teman-teman saya, meski biayanya cukup mahal," ujarnya.
"Ini dapat membantu mengubah cara pandang terhadap masalah pribadi. Banyak hal telah berubah terlalu cepat, yang menyebabkan hilangnya upaya keluarga selama bertahun-tahun dan perubahan dramatis dalam rencana mereka."
Krisis di pasar properti, pemulihan ekonomi pascapandemi yang tidak menentu, dan prospek pekerjaan yang buruk, serta tingginya biaya perawatan medis dan pendidikan telah memperburuk tekanan mental dan rasa tidak berdaya di kalangan kelas menengah China.
Shen Jiake, seorang penulis novel psikologis dari provinsi tengah Hubei, juga telah mendengar dari pembaca di seluruh negeri bahwa kecemasan adalah masalah yang umum, sebuah tren yang menurutnya merupakan indikasi semakin ketatnya persaingan di masyarakat secara keseluruhan.
"China telah berkembang begitu pesat selama 40 tahun terakhir, yang mengakibatkan perubahan dramatis dalam gaya hidup namun juga meningkatnya kecemasan," kata Shen.
"Hal ini termasuk benturan antara gaya hidup Barat dan nilai-nilai keluarga tradisional China, timbulnya epidemi secara tiba-tiba dan ketidakpastian ekonomi, serta meningkatnya rasa cemas di kalangan generasi muda."
Simak Video "Video Lansia Juga Bisa Alami Gangguan Kesehatan Mental, Seperti Apa?"
(naf/kna)