Seorang wanita di Austria menjalani operasi untuk gangguan jantung yang umum ditemui, yakni stenosis aorta. Yang membuatnya berbeda adalah, kondisi ini dipicu kelainan genetik langka yang juga membuat jantungnya menghitam.
Tim dokter menemukan kasus ini saat menangani wanita 65 tahun dengan keluhan sesak napas saat melakukan aktivitas fisik selama beberapa pekan. Riwayat medis mencatat, wanita ini sering mengeluarkan urine berwarna gelap sejak masih kecil.
Riwayat lain yang terungkap adalah ia pernah menjalani replacement atau penggantian panggul dan lutut di kedua sisi di usia 40-an tahun karena arthritis atau radang sendi.
Hasil pemeriksaan menunjukkan, wanita ini mengalami stenosis aorta atau aortic stenosis. Kondisi ini menyebabkan katup aorta di jantung menyempit atau tersumbat, sehingga aliran darah dan oksigen ke jantung terhambat.
Dikutip dari Livescience, pasien menjalani operasi terbuka untuk mengganti katup aorta. Berselang 13 hari, pasien keluar dari rumah sakit dan tidak mengalami gangguan kardiovaskular hingga 3 tahun kemudian.
Para dokter melaporkan kasus ini dalam jurnal BMJ Case Reports pada 2011 karena mendapati temuan menarik. Saat melakukan operasi, mereka mendapati 'pigmentasi hitam' pada jantung pasien. Kalsifikasi 'hitam gelap' juga ditemukan pada jaringan di aorta dan katup aorta.
Jaringan yang menghitam diangkat, lalu diperiksa di bawah mikroskop setelah operasi. Hasilnya, ditemukan 'deposisi pigmen cokelat' di area katup aorta yang mengeras dan di beberapa jaringan yang tidak terkalsifikasi.
Di area yang mengeras, tim dokter juga menemukan tanda inflamasi kronis, termasuk sel imun 'pigment-laden'. Degenerasi atau penurunan fungsi pada jaringan pengikat katup juga ditemukan dalam pemeriksaan.
Berdasarkan temuan dan riwayat kesehatan, tim dokter menyimpulkan pasien mengalami kondisi genetik langka yang disebut alkaptonuria. Secara global, penyakit bawaan langka ini hanya dialami 1 dari 250 ribu hingga 1 dari 100 ribu orang.
NEXT: Alkaptonuria dipicu mutasi gen langka
Simak Video "Video Kritik Klaim Tylenol Trump, WHO Ingatkan Kebijakan Berlandaskan Sains"
(up/up)