Indonesia menjadi salah satu negara tempat uji klinis vaksin tuberkulosis (TBC) terbaru M72 yang didanai oleh Bill Gates. Beberapa negara lain yang ikut terlibat dalam proses uji klinis ini meliputi Afrika Selatan, Zambia, Malawi, dan Kenya.
Penolakan yang paling nyata muncul dari media sosial. Tak sedikit warganet meragukan keamanan vaksin TBC yang sedang diuji klinis, bahkan sebagian menuding ini merupakan bagian dari 'cari untung' yang dilakukan oleh Bill Gates.
"WAHAI RAKYAT INDONESIA JGN MAU DI VAKSIN TBC BUAT KELINCI PERCOBAAN. JGN MAU DI BODOH BODOHI, SEKARANG PEMERINTAH KITA LAGI CARI UANG UNTUK MEMPERKAYA DIRI DAN MEREKA DAPAT UANG DARI HASIL VAKSIN TAPI KITA RAKYAT AKAN DI BUNUH SECARA PERLAHAN LAHAN DAN DI MANDULKAN," tulis salah satu warganet di media sosial X.
"Mulai dari vaksin Covic yg tdk ada bertangung jwab kini merambah ke vaksin TBC. Kalian buat rakyat jd percobaan.. Dimana akal sehatmu... Tertutup hati nuranimu demi cuan," timpal warganet lain dan masih banyak lagi.
Mengapa vaksin baru TBC diperlukan dan kenapa uji cobanya harus dilakukan di Indonesia? Ini menjadi salah satu pertanyaan besar mengingat Indonesia sebenarnya sudah memiliki vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) sebagai imunisasi wajib anak untuk mencegah TBC.
'Prestasi' Kasus TBC RI dan Menurunnya Proteksi Vaksin BCG
TBC merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini sebenarnya dapat menginfeksi banyak organ seperti otak dan tulang, tapi paling umum menyerang paru-paru.
Menurut data Global Tuberculosis Report tahun 2024, Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia kasus TBC terbanyak sekitar 1,09 juta kasus baru. Tepat di atas Indonesia ada India dengan 2,8 juta kasus baru dan di bawah atau peringkat ketiga ada China dengan 741 ribu kasus baru.
Angka kematian akibat TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 125 ribu jiwa tiap tahun. Artinya, ada satu orang Indonesia yang meninggal setiap 4 menit akibat penyakit TBC.
Spesialis paru dr Erlang Samoedro, SpP(K) berbicara soal urgensi vaksin baru untuk penanganan TBC di Indonesia. Meskipun saat ini Indonesia sudah menggunakan vaksin BCG untuk anak-anak, dr Erlang menyebut itu tidak cukup.
Ia menjelaskan vaksin BCG digunakan sebagai perlindungan terhadap TBC untuk bayi dan balita. Selain itu, vaksin BCG juga ditujukan untuk menurunkan risiko gejala berat pada anak, apabila akhirnya terinfeksi.
Menurut dr Erlang, proteksi vaksin BCG untuk mencegah TBC akan berkurang seiring berjalannya waktu. Inilah yang membuat kasus TBC di Tanah Air tetap tinggi, meski masyarakat sudah mendapatkan vaksin BCG.
dr Erlang berharap vaksin TBC baru yang nantinya diperuntukkan untuk orang dewasa, bisa memberi proteksi baru yang lebih kuat.
"Sekarang lagi mencoba riset dengan teknologi yang terkini. Kalau BCG teknologi lama yang sudah sekian puluh tahun. Nah, sekarang ada teknologi baru, yang kemudian ini akan dicobakan," ujar dr Erlang ketika berbincang dengan detikcom melalui sambungan telepon, Kamis (9/10/2025).
dr Erlang mengatakan uji klinis pada manusia memang diperlukan dalam penelitian vaksin. Ini dilakukan untuk melihat efikasi dan efek samping yang mungkin muncul di tubuh manusia.
Meski begitu, ia mengingatkan keamanan orang-orang yang terlibat dalam penelitian sangat dijaga. dr Erlang menyebut penelitian vaksin harus melalui proses yang ketat dan memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sebagai regulator.
Apabila muncul efek samping berat pada peserta penelitian, maka uji klinis vaksin TBC baru sudah pasti dihentikan.
"Jadi per pasien itu begitu ada satu saja kejadian yang tidak diinginkan, yang cukup berat misalnya, pasti langsung dihentikan," ungkap dr Erlang.
Meski menyambut baik penelitian ini, dr Erlang mengaku belum cukup puas dengan hasil uji klinis fase 2b yang menunjukan efikasi sekitar 50 persen. Ia berharap efikasi vaksin M72 bisa meningkat setelah uji klinis fase 3 selesai.
"Kalau masih 50 persen sih, masih belum ya. Masih kurang menggembirakan kalau yang segitu sih. Harusnya di atas itu, di atas 80 persen seharusnya. Makin baik, proteksi makin baik, seharusnya makin tinggi ya efektifitasnya," ujar dr Erlang.
(avk/kna)