Setiap muslim dan muslimah pasti memercayai bahwa doa yang dilangitkan di depan ka'bah mampu menembus langit tanpa penghalang. Jangankan mengucap, bergumam saja, doa tersebut pasti dipenuhi oleh Allah SWT sang pemilik Bumi dan seisinya.
Berbekal rasa yakin dan harapan, Jatminah (53) seorang kader TBC di Jakarta Timur merapalkan doa-doanya di depan baitullah beberapa bulan lalu. Ia berharap, berkas-berkas doa yang ia susun selama 16 tahun menjadi kader TBC bisa sampai di 'meja' Tuhan secepat-cepatnya. Percaya bahwa suatu saat nanti, semua akan berakhir sebagaimana mestinya.
Permintaan Jatminah tak muluk-muluk. Ia berharap pemerintah lebih memerhatikan para kader dan orang dengan TBC (ODTBC) di Tanah Air. Baik itu berupa bantuan dana operasional untuk kader dan sembako untuk ODTBC yang terpaksa harus 'dirumahkan' selama proses pengobatan.
"Ya Allah, pertemukan saya, pertemukan kami kader-kader sebagai garda terdepan (dengan Presiden Prabowo), supaya kami menyampaikan benar gitu. Ini loh yang selama ini kami lakukan, yang selama ini kami terima, bukan dari pemerintah tapi malah dari orang luar yang memang akhirnya dikelola oleh lembaga yang ada di Indonesia," kata Jatminah tegas, kepada detikcom, di Jakarta Timur, Sabtu (18/10/2025).
Garda Terdepan Itu Bernama Kader TBC
Hampir setiap hari, Jatminah melangkah dari rumah ke rumah. Mengetuk satu demi satu pintu dari terduga ODTBC atau sekadar bertegur sapa, memeriksa kondisi mereka yang sebelumnya telah ia kunjungi agar tak lewat seharipun mengonsumsi obat.
Lebih dari satu dekade menjadi relawan. Tanpa gaji pokok. Berangkat pagi, mungkin pulang bisa malam hari untuk mendatangi ODTBC demi hal mulia: mencari kesembuhan dan mencegah penularan.
Bagi orang yang belum mengerti perjuangannya, pekerjaan menjadi kader TBC terdengar sederhana: bertemu ODTBC, memberi penyuluhan, mengajak mereka periksa, memastikan mereka mendapatkan obat, lalu rutin memantau kondisinya. Nyatanya, pekerjaan Jatminah tidaklah sesederhana kalimat sebelum ini.
"Kembali lagi, operasionalnya (kadang) nggak ada. Harus jalan bisa 3-4 kali satu pasien, tidak langsung pasien itu merespons baik pada saat (diajak) periksa ke Puskesmas gitu," kata Jatminah.
"Kadang kami sudah memberikan pot dahak itu bisa 2-3 hari belum terisi juga, kami balik lagi. Kadang mereka juga nggak mau ngasih contact person (narahubung), jadi kami yang harus proaktif," sambungnya.
Selain melawan panas dan hujan, Jatminah dan para kader-kader lain juga dihadapkan dengan stigma buruk TBC di akar rumput. Stigma ini sama seperti debu di jalanan, tidak terlihat, tapi dampaknya terasa. Namun, Jatminah dan kader-kader TBC lain tidak pernah menyerah mencoba dan mereka tak pernah mencoba menyerah.
(dpy/kna)