Bukti Nyata Obesitas di Balik Catatan Cek Kesehatan Gratis

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Rabu, 19 Nov 2025 22:24 WIB
Foto: Nafilah Sri Sagita/detikHealth
Jakarta - Suasana sore di Stasiun MRT Blok M, Jumat (16/11/2025), tak jauh berbeda dari biasanya. Laju langkah pekerja kantoran, deru kereta, dan suara petugas yang sesekali mengingatkan pengguna. Namun di salah satu sudut, tenda cek kesehatan gratis (CKG) menarik perhatian orang-orang baru pulang kerja, salah satunya Riska (26).

Sekilas, penampilan pegawai swasta itu terlihat ideal. Tingginya 158 sentimeter, tubuhnya tampak proporsional. Ia sendiri tak pernah merasa ada yang perlu dikhawatirkan. Sampai akhirnya, meteran lingkar perut yang dilingkarkan petugas berhenti di angka 85 sentimeter.

"Gula darah aman, tekanan darah aman. Tapi kolesterol sama buncitnya nih," celetuk Adhi, petugas Puskesmas Kebayoran Baru, yang tengah bertugas di MRT.

Riska hanya terkekeh, mencoba menertawakan kecemasan yang tiba-tiba datang. Pertanyaan pertamanya polos. "Terus harus gimana?"

Saran petugas puskesmas kala itu cukup sederhana, tapi menurut Riska terasa berat untuk konsisten dilakukan. "Perbaiki pola makan, kurangi gorengan, perbanyak serat, buah, dan sayur," demikian pesan petugas puskesmas.

Tak pernah disangka, semua keluhan kecil yang selama ini dianggap wajar, lemas, cepat capek, ternyata bersumber dari perutnya yang kian membuncit.

Padahal, lemak yang menumpuk di sekitar perut bukan sekadar merusak penampilan. Ia bersembunyi sebagai lemak visceral, jenis lemak yang mengganggu metabolisme lipid dan meningkatkan risiko trigliserida melonjak. Efeknya? Bisa merayap perlahan tanpa rasa sakit, hingga suatu hari muncul sebagai penyakit tidak menular (PTM).

Petugas tengah mengecek hasil pengukuran lingkar perut di tenda cek kesehatan gratis MRT Blok M. Foto: Nafilah Sri Sagita/detikHealth

Cerita lain datang dari Mediana (29), pekerja kantoran domisili Tangerang Selatan. Sehari sebelumnya, ia mendapat broadcast WhatsApp dari rekan, ada CKG di stasiun MRT, yang bisa disambangi tanpa harus mencuri waktu kerja.

"Kalau ke puskesmas kan harus cuti. Ini tinggal pulang kerja mampir," kata dia, saat ditemui detikcom.

Di meja pemeriksaan, tubuhnya ditimbang dan diukur. Hasilnya membuat ia terdiam sejenak, Mediana masuk kategori obesitas tingkat 2. Dengan berat di angka 90 kilogram, Mediana mengaku sudah lama curiga, tapi baru kali ini berani memeriksakan diri dan cukup terkejut dengan hasilnya.

Pasalnya, obesitas tingkat 2 menandakan ia sudah memiliki indeks massa tubuh (IMT) antara 35 dan 39,9 kg/m². Walhasil, risiko masalah kesehatan dan potensi memerlukan penanganan medis akibat komplikasi penyakit jantung, stroke, dan diabetes tipe 2 ikut meningkat.

Petugas menyarankannya untuk datang ke puskesmas mengikuti program perubahan pola hidup khusus bagi peserta dengan risiko PTM. Saran yang terasa tepat, Mediana memang sering merasa cepat lelah, apalagi dengan ritme kerja yang padat dan jadwal tidur tak menentu.

Melinda dinyatakan obesitas level 2 dengan lingkar perut di atas 90 cm. Foto: Nafilah Sri Sagita/detikHealth

"Ternyata harus lebih hati-hati. Capek selama ini ya karena badan sudah kasih sinyal," katanya.

Meski sempat cemas, ia merasa layanan CKG seperti ini sangat menolong. Tak ada antre panjang, tak perlu cuti, dan yang terpenting, hasilnya membuatnya tersadar.

"Pokoknya jangan takut cek. Lebih baik tahu sekarang daripada nanti," tambahnya.

Potret Obesitas dari 50 Juta Peserta CKG

Data nasional CKG hingga akhir Oktober 2025 menunjukkan fakta mengkhawatirkan tentang kondisi kesehatan masyarakat dewasa. Dari lebih dari 50 juta peserta, tingkat risiko PTM tampak jelas:

  • 96 persen kurang aktivitas fisik
  • 41,9 persen mengalami karies gigi
  • 32,9 persen obesitas sentral
  • 24,4 persen overweight dan obesitas

Jika dirinci lebih lanjut, ada gambaran jelas siapa kelompok yang paling banyak terdampak obesitas.

Obesitas pada perempuan (berdasarkan usia):

  • 40-59 tahun: 1.142.250 jiwa
  • 30-39 tahun: 594.781 jiwa
  • 25-29 tahun: 256.316 jiwa
  • 18-24 tahun: 171.357 jiwa

Angka tersebut menunjukkan bagaimana perempuan usia produktif, bahkan sebelum memasuki usia 30 tahun sudah banyak yang mengalami penumpukan lemak berlebih.

Obesitas pada laki-laki (berdasarkan usia):

  • 25-39 tahun: 314.970 jiwa
  • 45-59 tahun: 298.597 jiwa
  • >60 tahun: 121.633 jiwa
  • 18-24 tahun: 81.196 jiwa

Kelompok laki-laki muda juga menghadapi risiko serupa, terutama di rentang usia produktif ketika pekerjaan menuntut banyak duduk dan aktivitas fisik minim.

Daerah dengan jumlah obesitas terbanyak hasil CKG di lebih dari dua juta kasus, terbanyak ditemukan di:

  • Jawa Tengah: 407.259 orang
  • Sumatera Utara: 252.916 orang
  • Banten: 205.355 orang

Angka-angka ini memperlihatkan obesitas bukan hanya masalah kota besar, wilayah dengan populasi dan aktivitas ekonomi tinggi juga menyimpan kasus obesitas yang masif.

Di balik tren mengkhawatirkan itu, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi menyebut belakangan pola hidup masyarakat berubah signifikan.

Yang tadinya kita harus jalan dulu untuk mendapatkan makanan, sekarang nggak. Ibu rumah tangga yang dulu harus masak, sekarang tinggal pesan. Bukan cuma fast food, makanan apa pun sekarang tersedia dan gampang diakses onlineDirektur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi

Hanya dengan beberapa klik, makanan datang dalam waktu singkat. Kemudahan ini memang menyenangkan, tetapi, kata dr Nadia, jelas menciptakan lingkungan obesogenik. Kondisi lingkungan yang mendorong seseorang menjadi obesitas tanpa disadari.

"Teknologi membuat semuanya instan. Tapi sisi lain, ia juga membuat kita makin jarang bergerak," tegasnya sembari menekankan hasil CKG di hampir seluruh kelompok usia menunjukkan 90 persen dari mereka minim aktivitas gerak.

Hal yang juga dibenarkan dokter spesialis penyakit dalam Dicky Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, obesitas terbanyak dilatarbelakangi minim aktivitas gerak dan pola makan tak sehat.
Padahal, obesitas berada di pusat lingkaran penyakit kronis. Diabetes, hipertensi, stroke, semuanya sering dimulai dari sini.

Sebagai Ketua Klaster Metabolic Disorder, Cardiovascular, and Aging FK UI, dr Dicky menilai banyak orang salah kaprah soal 'makanan sehat'. "Bilangnya nggak makan nasi itu sehat. Padahal gantinya mie atau gorengan. Sama saja," katanya.

Ia menyarankan memakai pedoman Isi Piringku dari Kemenkes:

  • Setengah piring: sayur dan buah
  • Setengah piring: makanan pokok + protein
  • Kurangi tepung-tepungan dan makanan olahan
  • Minum cukup, aktif minimal 30 menit sehari

Anak Obesitas Makin Banyak, Dampaknya Makin Luas

Viral bayi bernama Kenzie, punya bobot 27 kilogram di usia satu tahun. Ibunda Kenzie, Pitriah mengungkapkan berat badan anaknya memang berlebih sejak ia lahir.Akibat obesitas yang dialaminya, tumbuh kembang Kenzie terganggu. Tidak seperti bayi seusianya, Kenzie belum bisa berdiri tegak. Foto: Pradita Utama

Di masa lalu, diabetes pada anak biasanya merupakan diabetes tipe 1 (autoimun). Namun kini, kata dr Dicky, diabetes tipe 2 pada anak meningkat pesat, dipicu langsung oleh obesitas sejak dini.

"Anak obesitas sekarang makin banyak, dan diabetes tipe 2 pada anak ikut naik," tuturnya.

Faktor genetik juga memperbesar risiko. "Kalau salah satu orangtuanya diabetes, risiko anak tiga kali lipat lebih tinggi."

Hal sederhana yang sebetulnya bisa dilakukan dengan mudah adalah modifikasi gaya hidup. Makan seimbang, olahraga teratur, tidur cukup, dan kelola stres.

"Ini dasar semua terapi obesitas," jelas dr Dicky.

Mengutip Pedoman Nasional Pelayanan Klinis (PNPK) Obesitas, dr Dicky menekankan aktivitas fisik minimal 150 menit per minggu sangat disarankan. Perubahan kecil yang dimulai sejak dini dapat mencegah obesitas dan diabetes tipe 2 tanpa harus langsung memakai obat.

Jika hasil belum optimal, dokter baru mempertimbangkan farmakoterapi. "Tidak semua pasien langsung diberi obat. Kami menilai dulu kondisi metaboliknya," katanya.

Obat hanya berfungsi sebagai pendamping, bukan solusi utama, serta harus digunakan dengan pengawasan ketat karena tetap memiliki risiko efek samping. Ketika dua pilar sebelumnya tidak berhasil, barulah pasien dipertimbangkan untuk operasi bariatrik, prosedur yang mengecilkan kapasitas lambung guna mengontrol asupan.

Namun ini bukan solusi instan. "Bariatrik harus sesuai indikasi medis. Setelah operasi, pola hidup sehat tetap wajib," tegasnya.

Poinnya jelas: akar keberhasilan penanganan obesitas tetap ada pada gaya hidup. Obat dan operasi hanyalah pendukung, tanpa perubahan perilaku, berat badan bisa kembali naik kapan saja.

Kasus Mediana dan lainnya hanyalah sejumlah potongan kecil dari gambaran besar yang tertangkap dalam program CKG. Obesitas kini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup orang dewasa, tetapi juga mengancam masa depan generasi muda lewat lonjakan penyakit tidak menular pada anak.

dr Nadia menegaskan temuan-temuan ini menjadi dasar pemerintah memperluas layanan skrining dan intervensi berbasis komunitas.

"Permasalahan lain juga overweight sama obesitas pada anak-anak juga besar. Bukan hanya pada kelompok tadi usia dewasa tapi juga pada anak-anak, kita sudah mengalami permasalahan tersebut," terang dr Nadia.

"Kuncinya yuk sama-sama kita CKG, mulai benahi pola hidup, lebih sehat," pungkasnya.

Simak Video "Video: Langkah Lanjutan Jika Ditemukan Anak Sakit di Cek Kesehatan Gratis Sekolah"


(naf/kna)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork