BPJS Kesehatan memutus setidaknya satu tahun kerja sama dengan fasilitas kesehatan (faskes) yang terbukti melakukan fraud layanan jaminan kesehatan nasional (JKN). Bagaimana bila pelakunya adalah tenaga medis seperti dokter?
Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar Lembaga (Dirpatuhal) BPJS Kesehatan, Mundiharno, mengatakan hingga kini belum ada mekanisme formal terkait sanksi administratif atau hukum yang secara langsung dijatuhkan kepada dokter pelaku fraud.
"Belum berjalan tapi ini wacananya bisa dicabut izin praktik," kata Mundiharno dalam bincang media Rabu (10/11/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, sanksi langsung kepada tenaga medis merupakan ranah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Instrumen seperti pencabutan surat izin praktik (SIP) dan surat tanda registrasi (STR),berada sepenuhnya di kewenangan Kemenkes dan dinas kesehatan.
"Bisa dilakukan pencabutan SIP atau, kalau rumah sakit, izin operasionalnya. STR-nya juga bisa dicabut. Tapi itu belum tertuang. Itu Kementerian Kesehatan harusnya yang melakukan. Karena itu bukan domain kita," ujarnya.
Meski tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi profesi, BPJS Kesehatan tetap mengambil langkah penegakan melalui sistem flagging. Dokter atau tenaga kesehatan yang terbukti melakukan kecurangan akan ditandai dalam sistem BPJS agar faskes mengetahui rekam jejaknya.
"Dokter yang melakukan fraud kita flag. Kita bilang ke rumah sakit, ke faskes: 'Saya nggak mau kerja sama dengan Anda kalau masih ada dokter yang melakukan fraud ini'," ujar Mundiharno.
Ia memastikan mekanisme ini sudah digunakan, termasuk pada kasus seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang berulang kali melakukan fraud di beberapa fasilitas kesehatan berbeda.
"Sudah pernah dilakukan. Di salah satu dokter spesialis obgyn ya. Karena di sini melakukan fraud, pindah ke sini melakukan fraud. Begitu kesini saya bilang: 'Kalau saya masih kerja sama dengan ini, aku nggak mau'," katanya.
Flagging ini menjadi bentuk tekanan agar faskes tidak mempekerjakan tenaga medis yang terbukti melanggar, sekaligus menjaga keberlanjutan layanan JKN agar tetap akuntabel.
Mundiharno mengakui bahwa penindakan akan menjadi lebih sulit jika pelaku fraud memiliki relasi kuasa kuat di daerah atau di faskes terkait. Di sinilah peran masyarakat sipil menjadi penting untuk turut mengawasi, melaporkan, dan mengawal proses penindakan agar tidak berhenti di tengah jalan.
"Kalau satu orang masih bisa kita hadapi. Tapi kalau sudah relasi kuasa yang agak berat, itu yang perlu civil society mengawal," tegasnya.
Ia menambahkan, Direksi BPJS Kesehatan ke depan harus memiliki keberanian lebih besar dalam menjaga integritas program dan menghadapi tekanan semacam ini.
"Direksi baru harus kuat yang begitu. Harus," ujarnya.











































