BPJS Kesehatan menegaskan pemutusan sementara kerja sama dengan fasilitas kesehatan (faskes) yang terbukti melakukan kecurangan (fraud) dalam layanan jaminan kesehatan nasional (JKN), setidaknya satu tahun. Langkah tegas ini dinilai penting untuk memberikan 'deterrent effect' atau efek jera.
Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar Lembaga (Dirpatuhal) BPJS Kesehatan, Mundiharno, mengatakan fraud tidak bisa ditoleransi, karena merugikan peserta, negara, bahkan membahayakan nyawa pasien.
"Masa kita kerja sama dengan orang yang nyurangin kita? Ini nggak bisa ditoleransi," ujarnya dalam temu media di Yogyakarta, Rabu (10/11/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mundiharno memastikan pemutusan kerja sama tidak dilakukan secara tiba-tiba atau sepihak. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar pelayanan kepada peserta tidak terganggu.
Sebelum pemutusan, BPJS Kesehatan melakukan pengumuman dua minggu sebelumnya, memindahkan rujukan peserta ke fasilitas lain, mengatur layanan lifesaving, seperti cuci darah, ke rumah sakit yang mampu melanjutkan pelayanan.
"Pemutusan kerja sama nggak boleh mengganggu pelayanan peserta. Itu prinsip," tegasnya.
Namun, pihak BPJS disebutnya mengakui ada situasi dilematis, terutama di daerah yang hanya memiliki satu rumah sakit.
"Kalau ternyata di daerah itu cuma satu rumah sakit, terpaksa kita nggak putus. Pernah terjadi," beber Mundiharno.
Di sisi lain, rumah sakit yang tidak diputus karena alasan akses, justru masih melakukan fraud, meski sudah diberi peringatan.
"Makanya kalau hanya peringatan susah. Harus putus kerja sama supaya ada deterrent effect," ujarnya.
Selain pemutusan kerja sama, BPJS Kesehatan juga memberi sanksi berupa denda administratif maksimal Rp250 juta, di luar kewajiban mengembalikan kerugian negara.
Namun angka tersebut dianggap tidak proporsional.
"Kalau fraud-nya Rp15 miliar, ya Rp15 miliarnya harus kembali. Tapi dendanya cuma Rp250 juta. Itu terlalu kecil," kata Mundiharno.
BPJS Kesehatan berencana mengusulkan revisi nilai denda agar efek jera lebih terasa. Bila berkaca pada China misalnya, denda bahkan diberikan lima kali lipat dari total kerugian akibat fraud.
Mundiharno menegaskan fraud bukan sekadar persoalan administrasi atau kerugian keuangan. Pada titik tertentu, praktik curang di fasilitas kesehatan jelas membahayakan pasien.
"Bahaya fraud itu mengancam keselamatan pasien. Ada kasus tindakan medis dilakukan berulang-ulang padahal belum indikasi, hanya untuk memperbesar klaim," jelasnya.
Ia mencontohkan kasus tindakan operasi mata berulang yang dilakukan meski kondisi pasien belum siap, sehingga meningkatkan risiko komplikasi.
Modus-modus Kecurangan
BPJS Kesehatan mengidentifikasi sejumlah pola fraud yang kerap terjadi di lapangan, seperti:
- Phantom claim: klaim atas tindakan yang tidak dilakukan, tagihan fiktif.
- Manipulasi dokumen medik.
- Tindakan medis yang tidak sesuai indikasi untuk meningkatkan nilai klaim.
Salah satu temuan ekstrem adalah klaim kraniotomi hingga lebih dari 100 kasus dalam satu bulan oleh sebuah rumah sakit, yang belakangan terbukti tidak pernah dilakukan.
Kecurangan yang selama ini ditemukan diyakininya hanya sebagian kecil dari gambaran fenomena 'gunung es', alias kasus jauh lebih banyak daari yang terlaporkan.
"Ancaman terbesar JKN ke depan salah satunya fraud. Kalau ini tidak dikawal, finansial terganggu, reputasi terganggu. Dan yang paling dirugikan adalah peserta," ujarnya.











































