Fenomena balap lari liar memang meresahkan dan rawan penularan COVID-19 karena memicu kerumunan. Tapi di sisi lain jadi pengingat bahwa olahraga tidak harus mahal.
Anggapan bahwa olahraga itu mahal belakangan ini tampak makin nyata. Untuk bersepeda misalnya, para pegowes dadakan sampai harus bertengkar dengan pasangan untuk menebus frame seharga puluhan juta rupiah. Belum lagi perlengkapan-perlengkapan lainnya.
Sama halnya dengan berlari. Bahkan saat pandemi dengan berbagai tantangan ekonominya, promo penjualan sepatu lari tak pernah sepi dari antrean pembeli. Belum lagi untuk membeli sport watch untuk mengukur dan mencatat performa olahraga, yang harganya jutaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Balap lari liar seolah jadi pengingat, bahwa tanpa itu semua seseorang tetap bisa olahraga. Hanya butuh badan dan motivasi yang kuat, olahraga seharusnya sudah dilakukan. Nyeker alias tanpa alas kaki pun, tak masalah asal tetap hati-hati.
"Semua orang bisa berlari, mau yang punya uang dan yang enggak punya uang. Yang kurus dan yang gendut. Semuanya bisa," kata seorang peserta balap lari liar di Jakarta, Popay, saat dihubungi detikcom.
Soal olahraga tak harus mahal, praktisi kesehatan olahraga dr Rachmad Wishnu Hidayat, SpKO menyampaikan pendapat senada. Dibandingkan olahraga lain, lari termasuk yang paling murah dan praktis bisa dilakukan di mana saja. Perangkat penunjang memang ada manfaatnya jika tersedia, tetapi tidak mutlak.
"Tidak perlu peralatan tertentu," kata dr Wishnu.
Bahwa balapan yang digelar mengganggu ketertiban saat digelar di jalanan dengan berkerumun, itu soal lain. Menurut dr Wishnu, ada catatan yang membuat balap lari tetap tidak 'sehat' dilihat dari sisi tersebut.
"Lari tetap harus menerapkan protokol yang ada terutama menghindari kontak dengan orang lain. Itu penting," tegasnya, Kamis (17/9/2020).
(up/up)











































