Beberapa hari terakhir, media sosial sedang ramai membahas dua peserta Siksorogo Lawu Ultra 2025 meninggal dunia saat mengikuti lomba di lereng Gunung Lawu. Insiden ini memicu diskusi luas soal batas kemampuan fisik dan pentingnya mitigasi risiko dalam olahraga ekstrem.
Berbicara terkait batas kemampuan fisik, di dunia lari jargon 'push the limit' cukup populer dan dipakai sebagai 'bahan bakar' untuk memotivasi progress latihan dalam mengejar target-target pribadi.
Namun, spesialis olahraga, dr Andhika Raspati SpKO mengatakan bahwa 'push the limit' sendiri memiliki aturan main, yang tentu bertujuan untuk melindungi pegiat olahraga, dalam hal ini adalah pelari, dari kejadian yang tak diinginkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kita bicara safety ya, push the limit ada aturan mainnya. Artinya nggak boleh terlalu mendadak. Kalau kita biasa di pace 7, ya jangan nge-push pace 5, tapi ke pace 6.30 dulu atau pace 6.45," kata dr Dhika kepada detikcom saat dihubungi, Senin (8/12/2025).
Bagaimana aturan tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata? Berikut pengalaman para pelari yang pernah berbesar hati memutuskan DNF (Did Not Finish), melawan ego untuk 'push the limit' saat ketemu batas kemampuan fisiknya.
DNF Bukan Akhir Segalanya, Masih Ada Race yang Lain
Eko Tri (41), seorang karyawan swasta di Jakarta Selatan mengatakan 'push the limit' sendiri sebenarnya mindset positif yang mungkin dimiliki setiap pelari untuk bisa tetap menjaga semangat.
"Tapi kan ada kapasitas. Kapasitas setiap orang juga berbeda-beda," kata Eko kepada detikcom saat dihubungi, Rabu (10/12/2025).
Pengalaman Eko di dunia lari bisa dikatakan cukup banyak, baik di road race maupun trail run. Terakhir, dirinya mengikuti Siksorogo Lawu Ultra 2025 dengan mengambil kategori 50K.
Sayangnya, setelah melakukan persiapan seperti latihan, menjaga pola makan, pola tidur, dan sebagainya, Eko tetap harus menemui kegagalan di banyak race-nya, sehingga terpaksa did not finish (DNF).
"Untuk alasannya pertama karena cut off time (COT). Kedua karena batas kemampuan diri saja sudah habis dan cedera," katanya.
"Itu semacam batasan. Batasan kalau memang kita belum mampu saja untuk lanjut. Jadi lebih baik memutuskan DNF, karena kalau dikejar berisiko. Kitanya juga lelah dan dilanjutkan tidak cukup waktunya," sambungnya.
Finish Sesungguhnya Adalah Pulang Selamat
Bagi sebagian orang, DNF mungkin dipandang sebagai aib atau mungkin hal yang memalukan. Sebagai seorang penyintas stroke, Alfa (46) yang juga memiliki hobi lari, melihat DNF sebagai titik untuk memulai kembali.
"Saya tidak malu. Saya akan malu ketika ngabarin 'saya finish', tapi finish-nya di rumah sakit," kata Alfa.
"Finish line sesungguhnya adalah rumah, keluarga menanti di rumah. Itu loh poinnya," sambungnya.
Alfa sempat lumpuh total akibat stroke di tahun 2020. Berkat perjuangannya, beberapa waktu lalu menyelesaikan half marathon yang diadakan oleh BTN Jakarta International Marathon (JAKIM) 2025.
Namun, Alfa mengakui bahwa kondisinya saat ini berbeda. Ia tidak bisa memaksakan diri seperti dulu, bahkan dokter menyarankan untuk olahraga tidak boleh nge-gas, dengan 75 persen heart rate (HR) maksimal.
"Jadi memang lari bukan hanya sekadar lari. Tetapi harus tahu diri, kondisi diri, tubuh sendiri," tutup Alfa yang baru-baru ini juga memutuskan DNF di salah satu race lari di Jawa Tengah.
Saksikan Live DetikPagi :
Simak Video "Video: Rekomendasi Olahraga yang Cocok di Waktu Menopause"
[Gambas:Video 20detik]
(dpy/up)











































