"Dibanding-bandingkan itu sebenarnya nggak boleh ya, karena itu akan membuat anak tidak mengembangkan kemampuan yang dimiliki, tapi hanya menyamai seseorang," ujar psikolog anak dan remaja, Ratih Zulhaqqi, dalam perbincangan dengan detikHealth dan ditulis pada Kamis (12/3/2015).
Ratih menyampaikan melecut motivasi anak tidak efektif dengan cara membandingkannya dengan orang lain. Jangankan dengan temannya, adik dan kakak saja punya sifat dan kemampuan berbeda. Karena itu tidak bijak rasanya jika orang tua menuntut anak untuk menjadi 'sempurna' dengan memiliki kemampuan yang sama dan bahkan harus lebih ketimbang anak-anak yang lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Efek selalu dibanding-bandingkan itu akan terlihat dalam jangka panjang. Anak akan tumbuh tidak dengan melihat kemampuan sendiri. Anak akan merasa dirinya lebih buruk ketimbang anak lainnya atau lingkungannya. Akibatnya dia tidak punya rasa percaya diri," papar perempuan berkerudung ini.
Ketika anak kemudian dipaksa untuk bisa melakukan kemampuan yang belum dikuasai, maka yang tercipta adalah lingkungan yang penuh tekanan sehingga anak menjadi stres. Yang sebaiknya dilakukan orang tua adalah mengarahkan, dan bukan memaksa anak untuk menjadi seorang master yang bisa melakukan apa saja.
"Kita saja orang dewasa kalau dikasih pekerjaan yang bukan keahlian kita, kan kita nggak mampu, bingung. Perlu belajar dulu, dan itu jangan pakai suasana paksaan. Kalau mulanya dibanding-bandingkan, lalu dipaksa agar bisa menguasai sesuatu, selain tidak percaya diri, anak juga menjalani hidup tidak dengan suka cita," tutur Ratih.
Hal senada disampaikan Istilah, penanggung jawab An-naml Daycare. Diakui dia, setiap anak punya potensi dan bakat masing-masing. Kepekaan orang tua dan guru diperlukan di sini dalam upaya mengembangkan bakat anak. Alih-alih membandingkan, orang tua dan guru sebaiknya mengapreasiasi kemampuan yang dimiliki anak.
"Misalnya ada anak yang ketika mendengar cerita dari gurunya ada kecenderungan tidak mau menyimak. Ini jangan lantas dikatakan bahwa anak ini bandel. Mungkin butuh pendekatan yang beda. Misalnya minta dia yang bercerita. Karena anak itu ada yang belajarnya audio, ada yang visual, ada yang kinestetik sehingga harus gerak terus," ujar perempuan yang akrab disapa Isti ini saat ditemui di kawasan Jatipadang Poncol, Jakarta Selatan.
Baca juga: Bukan Sekadar Seru, Ini Istimewanya Main Ayunan di Mata Psikolog
Menurut Isti, dengan semakin mengenalkan kegiatan yang bervariasi pada anak, maka bisa dilihat minat dan bakatnya. Nah, pembelajaran bisa dimasukkan pada kegiatan minat dan bakat tersebut. Misalnya untuk anak-anak usia 4-5 tahun, kegiatan berhitung tidak hanya bisa dilakukan melulu dengan angka-angka. Tapi bisa juga berhitung melalui menghitung telur di kegiatan memasak, menghitung daun saat sedang berjalan-jalan, dan sebagainya.
"Mengarahnya ke belajar berhitung, tapi caranya bisa berbeda-beda sesuai apa yang diminati anak," kata Isti.
(vta/up)











































