Mewujudkan Kota Ramah Jantung di Indonesia, Bisakah?

Mewujudkan Kota Ramah Jantung di Indonesia, Bisakah?

Muhamad Reza Sulaiman - detikHealth
Senin, 13 Apr 2015 09:24 WIB
Mewujudkan Kota Ramah Jantung di Indonesia, Bisakah?
Foto: Ilustrasi/Thinkstock
Jakarta - Jejaring kerja sama untuk pelayanan penyakit jantung bertujuan untuk mengurangi angka kematian akibat penyakit jantung. Tujuan akhirnya adalah mewujudkan kota ramah jantung di Indonesia, bisakah?

dr A Fauzi Yahya, SpJP(K), Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, mengatakan bahwa yang dimasukdengan kota ramah jantung bukan sekadar ketersediaan alat dan infrastruktur untuk mengobati penyakit jantung. Kota ramah jantung menurutnya adalah kota yang memiliki lingkungan yang dapat menjaga jantung tetap sehat sekaligus infrastruktur yang lengkap untuk menangani penyakit jantung.

"Kota ramah jantung adalah kota yang pelayanan jantungnya cepat dan berkualitas. Harus ada kerjasama antara jejaring yakni pemerintah, masyarakat dan perhimpunan termasuk tenaga kesehatan," tutur dr Fauzi, dalam konferensi pers 24th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association, di Hotel Ritz Carlton, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, dan ditulis pada Senin (13/4/2015).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baca juga: Penting! Upaya Pencegahan Penyakit Jantung Bisa Dimulai Sejak TK

Pentingnya kerja sama ini mengharuskan seluruh elemen menjadi mitra kerja sama. Pemerintah dalam hal ini dapat berbuat banyak dengan menyediakan alat-alat infrastruktur dan sarana pengobatan penyakit jantung. Tak kalah penting, pemerintah juga harus bisa menyediakan ruang publik agar masyarakat bisa berolahraga.

Selain itu, tingkat polusi juga harus diperhatikan. Penyediaan ruang publik untuk olahraga akan percuma jika tingkat polusi masih tinggi yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.

"Jadi kota dengan kesadaran dari komunitas medis, dengan rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang lengkap, ditunjang dengan kesadaran masyarakat yang tinggi soal penyakit jantung," ungkap dr Fauzi lagi.

dr Sunarya Soerianata, SpJP(K), Ketua Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah mengatakan bahwa Indonesia dapat mencontoh Singapura, Brasil atau Argentina yang sukses melaksanakan jejaring kerjasama pelayanan penyakit jantung. Di Singapura, masyarakat sudah teredukasi sehingga kasus pelayanan penyakit jantungya termasuk tinggi.

"Di sana itu 200 sampai 220 kasus untuk 100 ribu penduduk. Di kita kan belum sampai segitu, balik lagi karena banyak yang anggap sakit jantung itu masuk angin, akhirnya dikerok dan ketika meninggal disebut kesambet tadi," paparnya.

Baca juga: Tak Cuma Enak, Konsumsi Keju Juga Bermanfaat Bagi Kesehatan Jantung

Soal jumlah dokter jantung pun Indonesia masih sangat kekurangan. Idealnya, diperlukan sekitar 7.500 dokter untuk melayani 240 juta penduduk Indonesia. Nyatanya, dokter jantung yang terdaftar sebagai anggota PERKI saat ini jumlahnya hanya 700-an.

Karena itu menurut dr Sunarya, untuk mewujudkan kota ramah jantung di Indonesia masih sangat sulit. Namun prosesnya masih bisa dicicil dengan melakukan jejaring   seperti yang disebutkan sebelumnya. Jika belum mampu mewujudkan kota ramah jantung, minimal Indonesia bisa mengurangi angka kematian akibat penyakit jantung karena terlambat mendapat pertolongan.

"Balik lagi seperti ayam dulu atau telur dulu. Infrastruktur dulu atau jejaringnya dulu? Yang penting menurut saya adalah masyarakat lebih bisa teredukasi dulu, sehingga pengetahun pertolongan pertama seperti resusitasi itu minimal bisa diketahui masyarakat," ungkapnya. (Muhamad Reza Sulaiman/Nurvita Indarini)

Berita Terkait