Pertuni: Tiga-perempat Tunanetra adalah Penyandang Low Vision

Pertuni: Tiga-perempat Tunanetra adalah Penyandang Low Vision

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Senin, 19 Okt 2015 18:33 WIB
Pertuni: Tiga-perempat Tunanetra adalah Penyandang Low Vision
Foto: Thinkstock
Yogyakarta - Sejak 10 tahun lalu, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) aktif merintis berdirinya pusat layanan untuk penyandang low vision (lemah penglihatan), meskipun hanya berjalan secara mandiri. Tujuan mereka hanya satu, memberikan fasilitas yang layak untuk mereka yang terkena low vision.

"Menurut perkiraan Badan Kesehatan Dunia, penyandang low vision itu berjumlah tiga kali lipat dari jumlah totally blind," ungkap Aria Indrawati, Ketua Pertuni di Yogyakarta, Senin (19/10/2015).

Jadi, lanjut Aria, bila jumlah tunenetra di Indonesia mencapai 3,6 juta (data Kementerian Kesehatan), maka diperkirakan tiga-perempatnya adalah penyandang low vision atau berkisar 2,7 juta orang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun untuk angka pastinya, Aria mengaku belum mengantonginya. Alasannya karena memang belum pernah diadakan pendataan untuk penyandang low vision di Indonesia. Untuk kebutaan saja, datanya masih berupa perkiraan, apalagi low vision yang notabene kurang dipahami oleh masyarakat.

Ahli refraksi dari Low Vision Center Yogyakarta, Tiur Dianawati, Amd.RO, SKM menerangkan yang dinamakan dengan low vision adalah kondisi di mana penglihatan seseorang tetap melemah meski telah dilakukan pengobatan, misalnya operasi atau koreksi refraksi standar seperti pemberian kacamata atau lensa.

"Fungsi penglihatannya masih ada, walaupun cuma beberapa persen. Ini sudah tidak bisa dibantu dengan kacamata biasa," terangnya kepada detikHealth dalam kesempatan terpisah.

Namun penyandang low vision masih mempunyai sisa penglihatan, dan inilah yang bisa dioptimalkan agar pasien dapat berfungsi atau melakukan kegiatan sehari-hari sama baiknya dengan mereka yang tidak mengalami low vision.

Baca juga: Minim Layanan, Penanganan Low Vision di Indonesia Jadi Keteteran

Aria menambahkan, penyandang low vision sebenarnya sudah bisa terdeteksi sejak dini, atau sejak bayi. Orang tua bisa mengamati anak dari pergerakan matanya.

"Bisa kita ajak komunikasi lewat kontak mata, ketika matanya nystagmus atau goyang-goyang, kalau orang tua cermat pasti tahu, dan ini sebaiknya segera dibawa ke dokter mata anak," sarannya.

Barulah selepas itu dokter dapat memutuskan kondisi si bayi, apakah low vision atau gangguan mata lainnya. Langkah kedua adalah merujuk si bayi ke ahli refraksi untuk menentukan sisa penglihatan yang dimiliki si anak.

Pada bayi yang low vision, imbuh Aria, sisa penglihatan yang ada sebenarnya masih bertambah kalau diberikan stimulasi khusus. Dari yang semula hanya 10 persen, bisa meningkat jadi 12-15 persen. Ahli refraksi kemudian akan membantu menentukan alat bantu apa yang tepat diberikan untuk si bayi atau anak.

"Anak ini harus dibantu menggunakan alat bantu, menggunakan sisa penglihatannya supaya bisa berfungsi dengan baik. Memang tidak boleh dipaksa, tapi harus tetap digunakan, untuk mobilitas, dan membaca misalkan," lanjut Aria.

Baca juga: Pusat Layanan Low Vision Pertama di Indonesia Hadir di Yogyakarta (lll/up)

Berita Terkait