Kementerian Kesehatan Luruskan Simpang Siur Dokter Layanan Primer

Kementerian Kesehatan Luruskan Simpang Siur Dokter Layanan Primer

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
Jumat, 11 Des 2015 16:01 WIB
Kementerian Kesehatan Luruskan Simpang Siur Dokter Layanan Primer
Foto: Thinkstock
Jakarta - Kebijakan pemerintah membuka program Dokter Layanan Primer (DLP) memicu kontroversi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bahkan tidak mengakui organisasi profesi yang menaungi spesialisasi baru tersebut.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, DLP diadakan dalam rangka memperkuat layanan primer. Menurutnya, anggaran kesehatan saat ini lebih banyak diserap oleh rumah sakit dibandingkan puskesmas sebagai layanan primer.

Proporsi pembayaran pada 2015 menunjukkan 79,95 persen atau Rp 33.066.554 diserap oleh fasilitas rujukan, yakni rumah sakit. Puskesmas dan layanan primer lainnya hanya menyerap 20,05 persen atau Rp 8.291.241.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Artinya, pasien lebih banyak mendatangi rumah sakit," kata Menkes Nila dalam temu media di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (11/12/2015).

DLP dibentuk dengan kompetensi tambahan, sehingga pasien tidak perlu dirujuk ke rumah sakit. Dilihat dari jenjang pendidikannya, DLP sejajar dengan dokter spesialis. Lama pendidikannya pun sama, antara 2-3 tahun untuk jalur pendidikan reguler.

Bagi pasien, mungkin sedikit membingungkan karena DLP maupun dokter umum sama-sama berada di layanan primer. Staf Khusus Kementerian Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan, Prof Dr Akmal Taher, SpU(K) menjelaskan bahwa keberadaan DLP tidak akan membatasi pilihan pasien.

"Terserah pasien, mau ditangani dokter yang mana. Soal kewenangan, DLP dengan dokter umum sama," kata Prof Akmal.

Namun ditambahkan oleh Prof Akmal, DLP dibekali sejumlah kompetensi yang tidak dimiliki dokter umum. Salah satunya adalah bekal keterampilan klinis. Di beberapa negara, DLP dengan ketrampilan klinis ini terbukti mampu menurunkan angka rujukan dari layanan primer ke layanan spesialistik.

Baca juga: Ini Kompetensi Lebih yang Dimiliki Dokter Layanan Primer 

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal drg Tritarayati, SH, M.Kes menilai keberadaan DLP memberikan lebih banyak pilihan karir bagi dokter. Selepas menempuh pendidikan dokter dan internship, dokter bisa memilih untuk tetap menjadi dokter umum, melanjutkan pendidikan profesi sebagai DLP, atau mengambil spesialisasi.

"Dokter yang mengambil DLP mempunyai grade 8," kata drg Tritarayati. Dalam Peraturan Presiden Nomor 8/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, grade 8 setara dengan lulusan Magister Terapan dan Magister.

Baca juga: Begini Prosedurnya Jika Dokter Umum Hendak Jadi Dokter Layanan Primer 

Program pendidikan DLP akan mulai diterapkan pada 2016 dengan prioritas bagi dokter puskesmas yang telah bekerja lebih dari 5 tahun. Untuk jalur non-reguler ini, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kesehatan, drg Usman Sumantri, M.Kes menyebut ada bantuan dana pendidikan senilai Rp 26 miliar.

Kebijakan yang didukung Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) ini tidak lepas dari kontroversi. Penolakan justru datang dari organisasi yang menaungi profesi dokter, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Dalam keterangan persnya, Ketua Umum IDI dr PB IDI Prof Dr Ilham Oetama Marsis, SpOG memandang konsep DLP akan memberatkan calon dokter, serta merendahkan dan meragukan kompetensi dokter yang saat ini melayani masyarakat di layanan primer.


Penggalan keterangan pers IDI tentang program DLP


(up/up)

Berita Terkait