"Seharusnya laki-laki dan perempuan memang sama saja. Tapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian, kadang kultur menuntut harus ada anak laki-laki," kata Ni Wayan Suri, seorang Bidan di Sesetan, Bali, saat ditemui baru-baru ini.
Meski tak banyak, kecenderungan pilih-pilih jenis kelamin masih ditemukan dalam praktik keseharian Ni Wayan Suri. Beberapa pasangan, khususnya dari etnis Bali dan Tionghoa datang kepadanya untuk menjalani program khusus untuk menentukan jenis kelamin anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ovulasi (lepasnya sel telur) terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, antara hari ke-14 dan 15 dihitung dari hari pertama menstruasi," jelas Ni Wayan Suri, Selasa (26/1/2016).
Baca juga: Kebanyakan Penduduk Tua, China Resmi Cabut Kebijakan Satu Anak
Hitung-hitungan Ni Wayan Suri untuk menentukan jenis kelamin anak. (Foto: AN Uyung Pramudiardja) |
Pembuahan yang terjadi pada masa subur sebelum ovulasi, menurut Ni Wayan Suri, lebih berpeluang menghasilkan anak perempuan karena kondisi vagina cenderung asam. Sebaliknya pada masa subur setelah ovulasi, kondisi vagina cenderung basa sehingga lebih ideal untuk mendapatkan anak laki-laki.
Ni Wayan Suri mengakui tidak melakukan penelitian untuk menentukan seberapa efektif metode ini diterapkan. Namun faktanya, kecenderungan pilih-pilih jenis kelamin anak masih banyak ditemukan di keseharian.
Baca juga: Tekan Jumlah Pernikahan di Usia Muda, KUA Diharap Tak Memberi 'Dispensasi' (up/vit)












































Hitung-hitungan Ni Wayan Suri untuk menentukan jenis kelamin anak. (Foto: AN Uyung Pramudiardja)