Inspiratif! Meski Tak Bisa Melihat, Tri Bisa Menjadi Guru

Inspiratif! Meski Tak Bisa Melihat, Tri Bisa Menjadi Guru

Hillariana Ikhlash Devani - detikHealth
Jumat, 03 Jun 2016 09:33 WIB
Inspiratif! Meski Tak Bisa Melihat, Tri Bisa Menjadi Guru
Tri (berdiri) / Foto: eva
Jakarta - Sebagai seorang pengidap tunanetra dari umur 18 tahun, Tri Bagio, M.Pd, wakil kepala sekolah, bidang kerjasama, advokasi dan koordinator bimbingan konseling SLB Negeri A Bandung, memiliki banyak pengalaman dengan disabilitas. Bagi dirinya, menerima penglihatannya hilang adalah kesulitan tersendiri. Bahkan, tak terhitung berapa kali Tri ingin bunuh diri.

"Saya saat itu, sulit menerima bahwa saya tidak bisa melihat. Usia saya 18 tahun, saya merasa dunia saya tidak hanya gelap, tapi runtuh," ungkap Tri pada saat Kampanye 'NIVEA #Sentuhan Ibu', di Restoran E&O, Menara Rajawali, Jakarta, Kamis (2/6/2016).

Baca Juga: Riset: Jutaan Kematian Anak di Dunia Sebenarnya Bisa Dicegah

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apalagi menurut Tri, masyarakat saat itu belum bisa paham dan mengerti tentang kondisi disabilitas yang dialaminya. Orang tua juga tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak ada panduan, tidak ada pedoman yang dapat digunakan tentang apa yang harus dilakukan. Namun Tri tidak menyerah, dia mampu bangkit dan akhirnya bisa mengajar di SLB di Bandung.

"Saat itu pertama kali saya bergabung menjadi pengajar di SLB Negeri A Bandung saya menyadari bahwa ini adalah sekolah yang sudah lama sekali didirikan. Bahkan, tertua di Indonesia," ujar Tri.

Baca Juga: 5 Tahun Ditolak, Pria dengan Cerebral Palsy Ini Akhirnya Dapat Pekerjaan

Saat menjadi wakil kepala sekolah, Tri juga mengalami kesulitan, tapi bukan karena anak-anak didiknya. Kesulitan yang paling dirasakan selama menjadi wakil kepala sekolah di SLB Negeri A, Bandung justru adalah stigma masyarakat yang menurut Tri, menghambat perkembangan anak didiknya.

"Saat ini masyarakat memandang anak dengan disabilitas bukan memberikan solusi atau jalan keluar. Tetapi, hanya belas kasihan. Hal itulah yang menambah beban anak-anak kami. Ingat, disabilitas bukan pilihan tapi kenyataan yang harus dihadapi." tutur Tri kepada detikHealth. (vit/vit)

Berita Terkait