"Saya saat itu, sulit menerima bahwa saya tidak bisa melihat. Usia saya 18 tahun, saya merasa dunia saya tidak hanya gelap, tapi runtuh," ungkap Tri pada saat Kampanye 'NIVEA #Sentuhan Ibu', di Restoran E&O, Menara Rajawali, Jakarta, Kamis (2/6/2016).
Baca Juga: Riset: Jutaan Kematian Anak di Dunia Sebenarnya Bisa Dicegah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat itu pertama kali saya bergabung menjadi pengajar di SLB Negeri A Bandung saya menyadari bahwa ini adalah sekolah yang sudah lama sekali didirikan. Bahkan, tertua di Indonesia," ujar Tri.
Baca Juga: 5 Tahun Ditolak, Pria dengan Cerebral Palsy Ini Akhirnya Dapat Pekerjaan
Saat menjadi wakil kepala sekolah, Tri juga mengalami kesulitan, tapi bukan karena anak-anak didiknya. Kesulitan yang paling dirasakan selama menjadi wakil kepala sekolah di SLB Negeri A, Bandung justru adalah stigma masyarakat yang menurut Tri, menghambat perkembangan anak didiknya.
"Saat ini masyarakat memandang anak dengan disabilitas bukan memberikan solusi atau jalan keluar. Tetapi, hanya belas kasihan. Hal itulah yang menambah beban anak-anak kami. Ingat, disabilitas bukan pilihan tapi kenyataan yang harus dihadapi." tutur Tri kepada detikHealth. (vit/vit)











































