Namun dari waktu ke waktu, dosis obat yang diberikan harus ditambah karena penyakit tak kunjung reda dan parasitnya sendiri menjadi 'kebal' terhadap obat-obatan yang ada.
Masalah dirasa semakin mendesak ketika peneliti menemukan salah satu tipe parasit malaria yang bernama Plasmodium falciparum di perbatasan Kamboja-Thailand menjadi resisten terhadap hampir segala jenis obat antimalaria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga akhirnya mereka menemukan sebuah enzim bernama 'phenylalanyl-tRNA synthetase' yang diklaim mampu memusnahkan parasit-parasit dari malaria sebelum berkembang biak di dalam liver (hati) dan dilepaskan ke aliran darah lalu menyebar ke seluruh tubuh.
Meski enzim ini baru sebatas berhasil diujicobakan pada tikus, namun peneliti membuktikan bahwa pengobatan tersebut efektif mencegah infeksi selama 30 hari penuh. Itupun hanya dengan dosis rendah.
Baca juga: Ilmuwan Australia Temukan Protein untuk Obati Malaria
"Kami berharap hasil studi ini bisa menjadi cikal-bakal penemuan obat antimalaria yang lebih baik lagi di tahun-tahun yang akan datang," tandas ketua tim peneliti, Prof Stuart Schreiber seperti dilaporkan BBC.
Menanggapi temuan ini, Prof David Baker dari London School of Hygiene & Tropical Medicine juga mengaku senang sebab dengan obat antimalaria dosis tunggal, itu berarti akan mengurangi kendala biaya dan menurunkan kecenderungan pasien berhenti berobat di tengah jalan.
Bagaimana tidak, diperkirakan hampir separuh penduduk bumi berisiko terserang malaria. Dari data WHO sendiri terungkap, di tahun 2015 terdapat 214 juta kasus malaria baru dan 438.000 kasus kematian akibat malaria.
Kendati demikian, dari hasil tes keamanan terungkap bahwa enzim ini masih bisa memicu toksisitas dengan derajat tertentu dalam sel tubuh manusia. Sehingga, enzim ini masih perlu disortir agar bisa benar-benar dimanfaatkan ke depannya.
Baca juga: Wah! Beternak Ayam Bisa Bantu Usir Nyamuk Pembawa Virus Malaria
(lll/rdn)











































