Membandingkan 'Cuci Otak' dr Terawan dan Rompi Antikanker Warsito

Membandingkan 'Cuci Otak' dr Terawan dan Rompi Antikanker Warsito

Firdaus Anwar - detikHealth
Kamis, 05 Apr 2018 20:04 WIB
Membandingkan Cuci Otak dr Terawan dan Rompi Antikanker Warsito
Foto: thinkstock
Jakarta - Kasus yang menimpa dr Terawan Agus Putranto pencetus terapi 'cuci otak' mengingatkan pada kasus Warsito Purwo Taruno yang populer dengan rompi antikanker. Awalnya dr Terawan dan Warsito dianggap membawa terobosan medis, tapi kemudian muncul kritik yang mempertanyakan dasar ilmiahnya.

Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Profesor Dr Sangkot Marzuki mengatakan kedua kasus tersebut terjadi karena selama ini tidak ada pihak yang berani mengambil keputusan.

"Kompleksitas kita itu di Indonesia tidak berani mengatakan hitam itu hitam, putih itu putih," kata Prof Sangkot ketika ditemui detikHealth di Kantor AIPI, Komplek Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (5/4/2018).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkaca dari kasus dr Terawan dan Warsito, sebetulnya apa sih yang terjadi pada keduanya? Berikut rangkuman detikHealth dari berbagai sumber.

Riset

Warsito Purwo Taruno
Rompi antikanker dikembangkan oleh Warsito sejak tahun 2000. Ia memiliki laboratorium riset kanker sendiri dan membuka klinik bagi masyarakat yang ingin mencoba rompinya sekaligus membantu penelitian lebih jauh.

Sementara itu dr Terawan mengembangan prosedur 'cuci otak' untuk para pasien stroke. Memanfaatkan teknologi Digital Substraction Angiography (DSA) dan heparin dr Terawan sudah menggunakan metode ini sebagai bahan penelitian disertasi S3-nya.

Dalam hal ini Warsito dan dr Terawan tersandung karena metode mereka belum diuji secara klinis. Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Budi Wiweko beberapa waktu lalu pernah mengatakan bahwa uji klinis adalah riset khusus untuk memastikan bahwa suatu alat atau terapi kesehatan aman dan efektif.

"Inovasi di bidang kedokteran memang aturannya lebih ketat dibanding di bidang teknologi karena bidang kesehatan berhubungan dengan nyawa manusia. Di bidang kesehatan nggak bisa seorang peneliti bilang sudah bisa menciptakan alkes dan obat kenapa kok dokter nggak pakai. Nggak bisa, karena ada yang namanya uji klinis," papar dr Iko.

Latar belakang pendidikan

dr Terawan
Warsito adalah seorang insinyur elektro lulusan Shizuoka University. Ketika dirinya melakukan terapi kanker dan menerima pasien dirinya dianggap telah melanggar aturan karena hal tersebut seharusnya hanya bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Sementara itu dr Terawan adalah dokter spesialis radiologi. Tentu bukan tanpa sebab jika perhimpunan dokter saraf gencar mengkritik sepak terjangnya dalam mengembangkan terapi untuk stroke. Walau tidak secara langsung berkaitan dengan terapi yang dikembangkan dr Terawan, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menyebut Kepala RSPAD Gatot Soebroto tersebut telah melakukan pelanggaran kode etik berat.

Sanksi

dr Prijo Sidipratomo, SpRad, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang menjatuhkan sanksi pemecatan pada dr Terawan (Foto: majalah detik)
Pada kasus Warsito dirinya akhir 2015 lalu diminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menutup klinik dan tidak lagi menerima pendaftaran pasien baru. Risetnya lalu dievaluasi dan difasilitasi oleh pemerintah (Kemristekdikti dan Kemenkes) dilanjutkan di rumah sakit.

Pada kasus dr Terawan, MKEK memutuskan untuk memecat sementara keanggotaannya di IDI. Menurut Sekretaris MKEK dr Pukovisa Prawiroharjo ia bisa kembali setelah menjalani mekanisme internal yang masih dirapatkan.

Ketika seorang dokter dipecat dari IDI menurut dr Pukovisa itu berarti hak, kewajiban, dan wewenangnya sebagai dokter tidak berlaku lagi.

Halaman 2 dari 4
Rompi antikanker dikembangkan oleh Warsito sejak tahun 2000. Ia memiliki laboratorium riset kanker sendiri dan membuka klinik bagi masyarakat yang ingin mencoba rompinya sekaligus membantu penelitian lebih jauh.

Sementara itu dr Terawan mengembangan prosedur 'cuci otak' untuk para pasien stroke. Memanfaatkan teknologi Digital Substraction Angiography (DSA) dan heparin dr Terawan sudah menggunakan metode ini sebagai bahan penelitian disertasi S3-nya.

Dalam hal ini Warsito dan dr Terawan tersandung karena metode mereka belum diuji secara klinis. Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Budi Wiweko beberapa waktu lalu pernah mengatakan bahwa uji klinis adalah riset khusus untuk memastikan bahwa suatu alat atau terapi kesehatan aman dan efektif.

"Inovasi di bidang kedokteran memang aturannya lebih ketat dibanding di bidang teknologi karena bidang kesehatan berhubungan dengan nyawa manusia. Di bidang kesehatan nggak bisa seorang peneliti bilang sudah bisa menciptakan alkes dan obat kenapa kok dokter nggak pakai. Nggak bisa, karena ada yang namanya uji klinis," papar dr Iko.

Warsito adalah seorang insinyur elektro lulusan Shizuoka University. Ketika dirinya melakukan terapi kanker dan menerima pasien dirinya dianggap telah melanggar aturan karena hal tersebut seharusnya hanya bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Sementara itu dr Terawan adalah dokter spesialis radiologi. Tentu bukan tanpa sebab jika perhimpunan dokter saraf gencar mengkritik sepak terjangnya dalam mengembangkan terapi untuk stroke. Walau tidak secara langsung berkaitan dengan terapi yang dikembangkan dr Terawan, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menyebut Kepala RSPAD Gatot Soebroto tersebut telah melakukan pelanggaran kode etik berat.

Pada kasus Warsito dirinya akhir 2015 lalu diminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menutup klinik dan tidak lagi menerima pendaftaran pasien baru. Risetnya lalu dievaluasi dan difasilitasi oleh pemerintah (Kemristekdikti dan Kemenkes) dilanjutkan di rumah sakit.

Pada kasus dr Terawan, MKEK memutuskan untuk memecat sementara keanggotaannya di IDI. Menurut Sekretaris MKEK dr Pukovisa Prawiroharjo ia bisa kembali setelah menjalani mekanisme internal yang masih dirapatkan.

Ketika seorang dokter dipecat dari IDI menurut dr Pukovisa itu berarti hak, kewajiban, dan wewenangnya sebagai dokter tidak berlaku lagi.

(fds/up)

IDI (Belum) Pecat dr 'Cuci Otak'
73 Konten
Ikatan Dokter Indonesia menjatuhkan sanksi pemecatan pada dr Terawan Agus Putranto. Pernah jadi kontroversi dengan terapi 'cuci otak' berbasis Digital Substraction Angiography (DSA). IDI belum memecat dan masih memberi ruang pembelaan buat dr Terawan
Berita Terkait