Kisah Kelam Si 'Kupu-kupu Malam'

Kisah Kelam Si 'Kupu-kupu Malam'

Aisyah Kamaliah - detikHealth
Selasa, 04 Sep 2018 08:20 WIB
Kisah Kelam Si Kupu-kupu Malam
Kisah kelam si 'kupu-kupu malam'. Foto: DW (Soft News)
Jakarta - Mendengar kata 'prostitusi' rasanya bisa muncul banyak kata untuk menggambarkannya. Ada berbagai gejolak emosi yang menguasai hati dan pikiran ketika mencoba untuk memandang dunia tersebut dari sisi berbeda.

Jackie Viemilawati, psikolog dari Yayasan Pulih menjelaskan kepada detikHealth beberapa waktu lalu bahwa kekerasan seksual dikalangan pekerja seks memang adalah hal yang sebenarnya sangat rentan, akan tetapi pandangan bila seks selalu berkaitan dengan suatu kesenangan membuat kesengsaraan mereka seperti tertutup.

Lalu mengapa itu bisa terjadi, dan membedakan mana yang suka sama suka dan kekerasan seksual? Ini sering banget muncul. Masyarakat banyak yang berpikiran bahwa segala sesuatu yang berbau seksual pasti fun padahal tidak. Mulai dari yang konsensual sampai yang kekerasan, suka sama suka, atau yang suka sama suka tapi 'turn out to be bad sex'. Itu spektrumnya banyak," jelas Jackie.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masih menurut psikolog lulusan Universitas Indonesia itu, pada dasarnya semua orang memiliki risiko menjadi korban kekerasan seksual, akan tetapi ada beberapa kelompok yang menjadi lebih rentan lagi, termasuk pekerja seks salah satunya.

Berikut ini adalah deretan kisah kelam di balik senyuman 'kupu-kupu malam'.

Obat kuat bikin gila

Foto: Reuters/Sprout Pharmaceuticals
Kisah ini datang dari YY (35), seorang mantan pekerja seks yang membagikan kisahnya langsung kepada kami. Dengan nada getir, ia mengisahkan pengalaman buruknya melayani seorang pria tua yang minum obat kuat sampai dua jam tak kunjung usai. Pelumas pun sudah tiada lagi, vaginanya kering hingga merasakan sakit yang teramat sangat.

"Saya enggak mau, lihat mukanya aja udah jijik banget," tuturnya.

"Jadi di situ saya sudah pusing, kesal, nangis saya mbak sambil dia melakukan itu," katanya.

Tipuan itu buat aku menjerit

Foto: thinkstock
Pengalaman pahit datang dari R (25). Awalnya R yang merupakan lulusan SMK sangat polos, ia diiming-iming untuk menjadi seorang kasir. Namun, ketika ia bekerja justru ia dijadikan seorang terapis pijat plus-plus. Uang di kantung celananya pun hanya Rp 20 ribu, tentunya bukan jumlah yang cukup untuk bertahan hidup di kerasnya ibu kota.

"Sampai sana saya terkejut karena tidak melihat ada sertifikat yang sering ada di tempat spa-spa biasanya. Belakangan saya tahu ini tempat pijat berbeda. Sudah kepalang tanggung, saya cuma pegang uang Rp 20 ribu. Uang dari kampung pun saya pinjam dulu Rp 200 ribu," kisahnya.

R mengisahkan bagaimana hari pertama ia menjalani profesinya. Saat memberanikan diri untuk melakukan tugasnya, ia malah lari ketakutan dan berteriak histeris. Ia tak sanggup melakukannya, yang terbayang hanyalah wajah ibunya di kampung halaman. Namun, karena teringat nasib adik-adiknya yang masih kecil dan butuh uang untuk bersekolah, ia memaksakan diri untuk 'menjual' badannya.

Aku ingin marah

Foto: Ilustrasi/ Thinkstock
Cerita kelam di balik kejamnya eksploitasi seksual tak hanya dialami oleh orang-orang yang sudah cukup umur. Ini juga dialami oleh OD yang baru saja menginjak usia 20 di tahun ini.

Dengan suaranya yang lemah, OD yang hanya lulusan SMP ini menuturkan mengetahui pekerjaan ini dari seorang temannya. Meski tahu ini bukan pekerjaan yang baik untuknya, ia bercita-cita membantu meringankan tanggungan keluarganya. Adiknya yang paling kecil masih butuh susu, sehingga ia tergiur dengan uang yang ditawarkan dari profesi terapis pijat plus-plus.

Tapi ternyata tak semulus bayangannya, dunia tersebut kejam dan membawa kesengsaraan.

"Pertama kali melakukannya, rasanya pengin marah tapi enggak bisa marah," tuturnya.

Halaman 2 dari 4
Kisah ini datang dari YY (35), seorang mantan pekerja seks yang membagikan kisahnya langsung kepada kami. Dengan nada getir, ia mengisahkan pengalaman buruknya melayani seorang pria tua yang minum obat kuat sampai dua jam tak kunjung usai. Pelumas pun sudah tiada lagi, vaginanya kering hingga merasakan sakit yang teramat sangat.

"Saya enggak mau, lihat mukanya aja udah jijik banget," tuturnya.

"Jadi di situ saya sudah pusing, kesal, nangis saya mbak sambil dia melakukan itu," katanya.

Pengalaman pahit datang dari R (25). Awalnya R yang merupakan lulusan SMK sangat polos, ia diiming-iming untuk menjadi seorang kasir. Namun, ketika ia bekerja justru ia dijadikan seorang terapis pijat plus-plus. Uang di kantung celananya pun hanya Rp 20 ribu, tentunya bukan jumlah yang cukup untuk bertahan hidup di kerasnya ibu kota.

"Sampai sana saya terkejut karena tidak melihat ada sertifikat yang sering ada di tempat spa-spa biasanya. Belakangan saya tahu ini tempat pijat berbeda. Sudah kepalang tanggung, saya cuma pegang uang Rp 20 ribu. Uang dari kampung pun saya pinjam dulu Rp 200 ribu," kisahnya.

R mengisahkan bagaimana hari pertama ia menjalani profesinya. Saat memberanikan diri untuk melakukan tugasnya, ia malah lari ketakutan dan berteriak histeris. Ia tak sanggup melakukannya, yang terbayang hanyalah wajah ibunya di kampung halaman. Namun, karena teringat nasib adik-adiknya yang masih kecil dan butuh uang untuk bersekolah, ia memaksakan diri untuk 'menjual' badannya.

Cerita kelam di balik kejamnya eksploitasi seksual tak hanya dialami oleh orang-orang yang sudah cukup umur. Ini juga dialami oleh OD yang baru saja menginjak usia 20 di tahun ini.

Dengan suaranya yang lemah, OD yang hanya lulusan SMP ini menuturkan mengetahui pekerjaan ini dari seorang temannya. Meski tahu ini bukan pekerjaan yang baik untuknya, ia bercita-cita membantu meringankan tanggungan keluarganya. Adiknya yang paling kecil masih butuh susu, sehingga ia tergiur dengan uang yang ditawarkan dari profesi terapis pijat plus-plus.

Tapi ternyata tak semulus bayangannya, dunia tersebut kejam dan membawa kesengsaraan.

"Pertama kali melakukannya, rasanya pengin marah tapi enggak bisa marah," tuturnya.

(ask/up)

Berita Terkait