Saran YLKI Soal 'Ironi' Cukai Rokok untuk Talangi BPJS Kesehatan

Saran YLKI Soal 'Ironi' Cukai Rokok untuk Talangi BPJS Kesehatan

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
Kamis, 20 Sep 2018 13:02 WIB
Saran YLKI Soal Ironi Cukai Rokok untuk Talangi BPJS Kesehatan
World No Tobacco Day 2017 India (Foto: Getty Images)
Jakarta - Untuk menutupi defisit, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan akan mendapat talangan Rp 1,48 triliun dari cukai rokok. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutnya sebagai ironi.

"Sebab dengan menggali dana cukai rokok untuk menutup BPJS sama artinya pemerintah menyuruh rakyatnya merokok. Sama artinya pemerintah mendorong agar rakyatnya sakit, karena konsumsi rokok," kata Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI.

YLKI khawatir, muncul paradigma bahwa aktivitas merokok merupakan bentuk bantuan agar BPJS tidak defisit. Para perokok merasa sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sampai-sampai muncul ajakan untuk merokok guna membantu pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebuah ajakan yang sesat pikir," sebut Tulus, dalam tulisannya kepada wartawan, Kamis (20/9/2018).



Agar tidak kontraproduktif, YLKI menyampaikan sejumlah saran terkait pemanfaatan cukai rokok. Saran pertama adalah menghentikan upaya menaikkan produksi rokok, khususnya produksi rokok berskala besar.

"Pada 2018, produksi rokok nasional diperkirakan mencapai 321,9 miliar batang. Produk sebanyak itu akan masuk ke mulut konsumen Indonesia, dan jadi penyakit," katanya.

Saran berikutnya adalah menaikkan cukai rokok secara signifikan, hingga 57 persen dari sekitar 40 persen saat ini. Menaikkan cukai rokok, menurut Tulus selain akan menaikkan pendapatan pemerintah, juga bisa menurunkan jumlah perokok.




Saksikan juga video 'Duh! Pak Anies Kerepotan BPJS Nunggak ke RSUD di Jakarta':

[Gambas:Video 20detik]

(up/fds)
Cukai Rokok untuk Orang Sakit
12 Konten
Dana cukai rokok sebesar Rp 1,48 triliun digelontorkan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Sejumlah pakar kesehatan menilai kebijakan ini ironis, karena biaya untuk mengobati penyakit diambil dari komoditas yang justru menyebabkan sakit.

Berita Terkait