Jakarta -
Tragedi Lion Air JT 610 pada Senin (29/10) membuat duka bagi seluruh masyarakat Indonesia. Terutama bagi para pejuang 'PJKA' alias Pulang Jumat Kembali Ahad (Minggu), yakni mereka yang bekerja jauh dari keluarga dan harus rutin mudik menempuh perjalanan jauh demi melepas rindu.
Pejuang 'PJKA', terutama yang menggunakan moda transportasi udara pasti merasa dilema dengan adanya tragedi tersebut. Tidak jarang yang merasa takut menggunakan pesawat untuk pulang bertemu keluarga atau kembali pada pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begini curhat para pejuang 'PJKA' yang juga pembaca setia detikHealth setelah mengetahui tragedi Lion Air JT 610.
Membuat dilema
Foto: Grandyos Zafna
|
Salah satu pembaca detikHealth, Kusno Pandit Isworo harus menjadi pejuang 'PJKA' setiap akhir pekan dari Solo ke Jakarta menggunakan pesawat. Mengetahui tragedi Lion Air JT 610 tersebut ia dihadapkan pada dilema."Hal ini yang membuat dilema jika terjadi kecelakaan pesawat seperti JT-610," katanya melalui e-mail kepada detikHealth.
"Perasaan tersebut akan dipatahkan karena rasa rindu bertemu keluarga. Banyak sekali kendala yang dihadapi jika jauh dengan keluarga antara lain keuangan (anggaran pulang harus tersedia), waktu, rasa capek dan pikiran," lanjutnya.
Mengingat perjuangan pulang dan kembali
Foto: Dhani Irawan
|
Tragedi Lion Air JT 610 membuat Indra Karlesa mengingat segala perjuangannya menjadi 'PJKA'. Ia yang bekerja sebagai pegawai salah satu Bank Daerah di Makassar, Sulawesi Selatan harus mencari nafkah jauh dari keluarga berdomisili di Jakarta dan menahan rindu untuk bertemu."Saya berusaha memahami perasaan mereka yang tiba-tiba harus 'kehilangan' orang yang disayangi bahkan dicintainya meninggal dalam menjalankan tugas negara, mencari nafkah untuk anak, istri dan keluarga," kisahnya.
Jarak Makassar-Jakarta memisahkan Indra dengan istri dan anaknya. Ia menceritakan bahwa untuk bertemu dengan anak, istri, dan keluarganya, ia harus berjuang dengan berbagai kendala, seperti pesawat delay.
"Penerbangan dari Kota Makasar jam sekitar jam 18.00 Wita dan jika tidak delay pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta/Halim Perdanakusumah sekitar jam 19.00 WIB dan dilanjut perjalanan kerumah sekitar 2 jam, praktis biasa saya sampai dirumah sekitar jam 22 atau jam 23 WIB..kalo pesawt delay maka saya pun tiba dirumah bisa dinihari," katanya.
Ia mengatakan bahwa perjuangannya menahan rindu bertemu keluarganya lebih berat saat musim hujan tiba. Katanya seperti hati merasa 'nelangsa', sedih, dan perasaan tak menentu. Ditambah dengan biaya tiket pesawat yang cukup tinggi. Tapi semua tak sebanding dengan kebahagiaannya bertemu dengan anak, istri, dan keluarganya.
Mengingat kecelakaan
Foto: Ibnu Hariyanto/detikcom
|
Setelah mengetahui tragedi Lion Air JT 610, salah seorang pejuang 'PJKA' teringat dengan beberapa tragedi yang pernah dialaminya saat ingin pulang dan kembali.Ratio, seorang Pegawai BUMN di Jakarta, status 'PJKA' pernah disandangnya selama 8 tahun. Mulai dari rute Jakarta-Yogyakarta, Yogyakarta-Prabumulih, Sumatra Selatan, dan kembali lagi ke Jakarta-Yogyakarta.
Ia mengatakan bahwa selain rasa rindu, waktu, dan biaya, pekerja seperti dirinya rentan 'terjadi apa-apa' saat di perjalan pulang atau kembali, seperti yang dialami Lion Air JT 610 tersebut.
"Semakin sering melakukan perjalanan, maka semakin berpeluang mengalami kecelakaan. Ini pernah terjadi pula ke saya. Yang paling parah adalah, saya berada di dalam kereta Senja Utama Jogja yang bertabrakan dengan truk bermuatan semen di persimpangan Sumpiuh tanggal 16 Mei 2009. Kecelakaan pada jam 03.30 pagi ini menyebabkan 1 orang penjaga palang pintu kereta meninggal dunia. Alhamdulillah saya tidak mengalami cidera apapun," ungkapnya.
Namun, kejadian seperti itu tidak memengaruhi intensitas seorang 'PJKA' seperti dirinya untuk bertemu istrinya di Yogyakarta. Menurut Ratio, 'terjadi apa-apa bukan hanya bisa terjadi pada transportasi murah, transportasi mahal pun bisa mengalami hal yang tidak diinginkan pula.
Lebih banyak berdoa
Foto: Heldania/detikcom
|
Berangkat karena kerja, pulang karena cinta. Itu yang diungkapkan salah satu pejuang 'PJKA' yang bekerja di Kejaksaan Negeri Brebes, Yansen Dau. Ia tidak menceritakan perjuangan Jakarta-Brebes atau kedilemaannya karena tragedi Lion Air JT 610. Namun melalui e-mail kepada detikHealth, ia memanjatkan doa untuk para penumpang di pesawat tersebut."Selamat jalan, para pejuang... Mungkin itu telah menjadi sebuah perjalanan terakhir menuju kantor demi panggilan tugas. Meninggalkan keluarga, bahkan di pagi hari buta engkau telah pergi meninggalkan rumah menuju bandara, memandang pulasnya tidur anak-anak tercinta, mengecup kening mereka dan tak lupa mendo'akan mereka. Mungkin itulah kecupan dan pelukan terakhir darimu untuk mereka yang tercinta. Mungkin itulah terakhir kalinya engkau melihat dan memberikan senyum pada kekasih dan belahan jiwa, suami/istri dan anak tercinta," ungkapnya.
"Ya Allah, bagi sahabat-sahabat kami yang saat ini juga mungkin masih berada jauh dari keluarga karena ketentuan sk dan tugas, semoga Engkau melindungi kami selalu dan ke depan semoga suatu saat nanti Engkau akan mendekatkan dan mengumpulkan kami semua kepada keluarga tercinta. Turut berduka cita. Tahu banget rasanya kehilangan para keluarga atas musibah ini, karena merasakan sebagai bagian PJKA (pulang jum'at kembali ahad)," lanjutnya yang sudah bekerja di berbagai pelosok NKRI sebagai ASN Kejaksaan RI.
Salah satu pembaca detikHealth, Kusno Pandit Isworo harus menjadi pejuang 'PJKA' setiap akhir pekan dari Solo ke Jakarta menggunakan pesawat. Mengetahui tragedi Lion Air JT 610 tersebut ia dihadapkan pada dilema.
"Hal ini yang membuat dilema jika terjadi kecelakaan pesawat seperti JT-610," katanya melalui e-mail kepada detikHealth.
"Perasaan tersebut akan dipatahkan karena rasa rindu bertemu keluarga. Banyak sekali kendala yang dihadapi jika jauh dengan keluarga antara lain keuangan (anggaran pulang harus tersedia), waktu, rasa capek dan pikiran," lanjutnya.
Tragedi Lion Air JT 610 membuat Indra Karlesa mengingat segala perjuangannya menjadi 'PJKA'. Ia yang bekerja sebagai pegawai salah satu Bank Daerah di Makassar, Sulawesi Selatan harus mencari nafkah jauh dari keluarga berdomisili di Jakarta dan menahan rindu untuk bertemu.
"Saya berusaha memahami perasaan mereka yang tiba-tiba harus 'kehilangan' orang yang disayangi bahkan dicintainya meninggal dalam menjalankan tugas negara, mencari nafkah untuk anak, istri dan keluarga," kisahnya.
Jarak Makassar-Jakarta memisahkan Indra dengan istri dan anaknya. Ia menceritakan bahwa untuk bertemu dengan anak, istri, dan keluarganya, ia harus berjuang dengan berbagai kendala, seperti pesawat delay.
"Penerbangan dari Kota Makasar jam sekitar jam 18.00 Wita dan jika tidak delay pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta/Halim Perdanakusumah sekitar jam 19.00 WIB dan dilanjut perjalanan kerumah sekitar 2 jam, praktis biasa saya sampai dirumah sekitar jam 22 atau jam 23 WIB..kalo pesawt delay maka saya pun tiba dirumah bisa dinihari," katanya.
Ia mengatakan bahwa perjuangannya menahan rindu bertemu keluarganya lebih berat saat musim hujan tiba. Katanya seperti hati merasa 'nelangsa', sedih, dan perasaan tak menentu. Ditambah dengan biaya tiket pesawat yang cukup tinggi. Tapi semua tak sebanding dengan kebahagiaannya bertemu dengan anak, istri, dan keluarganya.
Setelah mengetahui tragedi Lion Air JT 610, salah seorang pejuang 'PJKA' teringat dengan beberapa tragedi yang pernah dialaminya saat ingin pulang dan kembali.
Ratio, seorang Pegawai BUMN di Jakarta, status 'PJKA' pernah disandangnya selama 8 tahun. Mulai dari rute Jakarta-Yogyakarta, Yogyakarta-Prabumulih, Sumatra Selatan, dan kembali lagi ke Jakarta-Yogyakarta.
Ia mengatakan bahwa selain rasa rindu, waktu, dan biaya, pekerja seperti dirinya rentan 'terjadi apa-apa' saat di perjalan pulang atau kembali, seperti yang dialami Lion Air JT 610 tersebut.
"Semakin sering melakukan perjalanan, maka semakin berpeluang mengalami kecelakaan. Ini pernah terjadi pula ke saya. Yang paling parah adalah, saya berada di dalam kereta Senja Utama Jogja yang bertabrakan dengan truk bermuatan semen di persimpangan Sumpiuh tanggal 16 Mei 2009. Kecelakaan pada jam 03.30 pagi ini menyebabkan 1 orang penjaga palang pintu kereta meninggal dunia. Alhamdulillah saya tidak mengalami cidera apapun," ungkapnya.
Namun, kejadian seperti itu tidak memengaruhi intensitas seorang 'PJKA' seperti dirinya untuk bertemu istrinya di Yogyakarta. Menurut Ratio, 'terjadi apa-apa bukan hanya bisa terjadi pada transportasi murah, transportasi mahal pun bisa mengalami hal yang tidak diinginkan pula.
Berangkat karena kerja, pulang karena cinta. Itu yang diungkapkan salah satu pejuang 'PJKA' yang bekerja di Kejaksaan Negeri Brebes, Yansen Dau. Ia tidak menceritakan perjuangan Jakarta-Brebes atau kedilemaannya karena tragedi Lion Air JT 610. Namun melalui e-mail kepada detikHealth, ia memanjatkan doa untuk para penumpang di pesawat tersebut.
"Selamat jalan, para pejuang... Mungkin itu telah menjadi sebuah perjalanan terakhir menuju kantor demi panggilan tugas. Meninggalkan keluarga, bahkan di pagi hari buta engkau telah pergi meninggalkan rumah menuju bandara, memandang pulasnya tidur anak-anak tercinta, mengecup kening mereka dan tak lupa mendo'akan mereka. Mungkin itulah kecupan dan pelukan terakhir darimu untuk mereka yang tercinta. Mungkin itulah terakhir kalinya engkau melihat dan memberikan senyum pada kekasih dan belahan jiwa, suami/istri dan anak tercinta," ungkapnya.
"Ya Allah, bagi sahabat-sahabat kami yang saat ini juga mungkin masih berada jauh dari keluarga karena ketentuan sk dan tugas, semoga Engkau melindungi kami selalu dan ke depan semoga suatu saat nanti Engkau akan mendekatkan dan mengumpulkan kami semua kepada keluarga tercinta. Turut berduka cita. Tahu banget rasanya kehilangan para keluarga atas musibah ini, karena merasakan sebagai bagian PJKA (pulang jum'at kembali ahad)," lanjutnya yang sudah bekerja di berbagai pelosok NKRI sebagai ASN Kejaksaan RI.
(wdw/up)