"Itu tidak ilegal karena dalam praktik ilmu kedokteran juga nggak boleh ada jual beli organ. Ada prosedurnya untuk itu, dan untuk pendidikan tidak bisa sembarangan ambil," ujar Dr Zaenal Abidin, MHKes selaku Ketua terpilih Ikatan Dokter Indonesia (IDI), saat dihubungi detikHealth, Rabu (25/4/2012).
Dr Zaenal menuturkan biasanya mayat yang digunakan adalah orang yang tidak punya keluarga misalnya gelandangan serta sudah mendapatkan izin dari pihak berwajib bahwa mayat ini tidak ada keluarganya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu mengenai biaya yang harus dikeluarkan, Dr Zaenal menuturkan hal ini tergantung dari fakultas kedokteran masing-masing. Tapi paling tidak dikenai biaya transportasi untuk mengirim mayat tersebut dari rumah sakit ke fakultas.
"Setahu saya misalnya di fakultas kedokteran Pekanbaru nggak ada mayat, lalu ada mayat di rumah sakit di luar Pekanbaru, maka mayat akan dikirim ke fakultas tersebut," ujar Dr Zaenal.
Meski begitu, mahasiswa kedokteran yang akan menggunakan mayat tersebut untuk praktik anatomi juga tetap memperlakukannya dengan baik karena dari mayat tersebut mereka bisa mendapatkan ilmu.
"Waktu sekolah saya ingat dosen saya selalu mengatakan, sebelum melakukan apapun di lab anatomi jangan lupa mendoakan mayat tersebut, karena dari mayat itulah kita bisa mendapatkan ilmu, mempelajari tentang saraf, otot, pembuluh darah atau tulang," ungkapnya.
Dr Zaenal menjelaskan kadaver (mayat yang sudah diawetkan) ini hanya bisa digunakan dalam kurun waktu tertentu. Kalau sudah lama maka mayat ini akan dikuburkan secara baik-baik.
Sedangkan jika mayat tersebut digunakan untuk diambil organ tertentunya untuk transplantasi, maka hal ini termasuk tindakan ilegal karena dalam UU Kesehatan No 36 dijelaskan tidak boleh ada praktek jual beli organ.











































