Jakarta -
Mitos sepertinya begitu lekat dengan kehidupan masyarakat, tak terkecuali mitos tentang endometriosis. Mungkin ada banyak hal yang Anda dengar tentang penyakit ini dan bisa jadi beberapa di antaranya membuat Anda bertanya-tanya tentang kebenarannya.
Nah, berikut ini mitos dan fakta seputar endometriosis yang perlu diketahui, seperti dikutip detikHealth dari endometriosis.org, Rabu (2/10/2013):
1. Nyeri Haid Itu Wajar
Foto: Ilustrasi/Thinkstock
|
Sejak saat ini jangan berpikir nyeri haid tak tertahankan, khususnya di awal-awal menstruasi, adalah hal yang wajar. Sebab nyeri haid tak tertahankan itu tidak wajar. Sebab bisa jadi itu pertanda penyakit tertentu seperti endometriosis.
Meskipun zaman sudah modern dan berada di era keterbukaan informasi, akan tetapi masih ada 'keyakinan' lama bahwa nyeri haid merupakan bagian dari kodrat perempuan. Ada pula yang diberi tahu bawa rasa nyeri tak tertahankan itu dikarenakan ambang nyeri yang rendah.
Padahal jika nyeri sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, misalnya jadi tidak bisa pergi ke sekolah atau bekerja, maka itu tanda terjadi sesuatu yang tidak normal dalam tubuh. Jika rasa sakit ini terus mengganggu, segeralah mencari bantuan medis untuk mencari tahu apa penyebab rasa sakit itu.
2. Aborsi Sebabkan Endometriosis
Foto: Ilustrasi/Thinkstock
|
Jika bukan karena alasan medis yang bisa membahayakan ibu dan bayi, aborsi tidak boleh dilakukan. Nah, aborsi ini oleh beberapa orang dikaitkan dengan risiko endometriosis. Namun sejauh ini belum ada bukti ilmiah bahwa aborsi bisa mengembangkan endometriosis.
Mungkin pendapat aborsi bisa sebabkan endometrosis ini muncul karena kebingungan membedakan endometrosis dan endometritis. Endometrosis terjadi kala jaringan yang melapisi rahim (yang disebut endometrium) ditemukan di bagian lain dalam tubuh. Jaringan ini membentuk lesi endometriosis. Lesi endometriosis ini paling sering ditemukan di indung telur dan organ-organ lain dalam panggul. Sedangkan endometritis merupakan peradangan yang terjadi di endometrium, yaitu lapisan sebelah dalam pada dinding rahim, yang terjadi akibat infeksi. Endometritis biasa terjadi setelah kejadian aborsi, kelahiran kembar, serta kerusakan jalan kelahiran sesudah melahirkan.
3. Douching Bisa Sebabkan Endometriosis
Foto: Ilustrasi/Thinkstock
|
Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah yang menghubungkan douching dan akibatnya mengembangkan endometriosis. Sama halnya keterkaitan aborsi dan endometriosis, mungkin masih banyak yang membedakan endometriosis dan endometritis.
Douching merupakan kegiatan mencuci vagina dengan menyemprotkan air atau cairan lain seperti cuka, baking soda, atau larutan douching yang dijual bebas ke dalam vagina. Douching tidak disarankan untuk dilakukan karena dikhawatirkan mengubah keseimbangan kimiawi dan flora di vagina. Hal ini bisa membuat perempuan lebih rentan terhadap infeksi bakteri. Nah, infeksi inilah yang bisa memicu peradangan di endometrium.
4. Berisiko Tinggi Kanker Ovarium
Foto: Ilustrasi/Thinkstock
|
Ada klaim yang mengayttakan bahwa perempuan dengan endometriosis memiliki risiko mengemnbangkan kanker ovaroium yang lebih tinggi. Namun sejauh ini belum ada penelitian yang pasti. Endometriosis diketahui bukan prekursor kanker, namun dalam kasus yang sangat jarang adanya transformasi maligna telah diamati.
Kendati endometriosis dikaitkan dengan peradangan dan disfungsi imunologi, namun belum ada bukti penyakit ini merupakan penyakit autoimun.
Sejak saat ini jangan berpikir nyeri haid tak tertahankan, khususnya di awal-awal menstruasi, adalah hal yang wajar. Sebab nyeri haid tak tertahankan itu tidak wajar. Sebab bisa jadi itu pertanda penyakit tertentu seperti endometriosis.
Meskipun zaman sudah modern dan berada di era keterbukaan informasi, akan tetapi masih ada 'keyakinan' lama bahwa nyeri haid merupakan bagian dari kodrat perempuan. Ada pula yang diberi tahu bawa rasa nyeri tak tertahankan itu dikarenakan ambang nyeri yang rendah.
Padahal jika nyeri sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, misalnya jadi tidak bisa pergi ke sekolah atau bekerja, maka itu tanda terjadi sesuatu yang tidak normal dalam tubuh. Jika rasa sakit ini terus mengganggu, segeralah mencari bantuan medis untuk mencari tahu apa penyebab rasa sakit itu.
Jika bukan karena alasan medis yang bisa membahayakan ibu dan bayi, aborsi tidak boleh dilakukan. Nah, aborsi ini oleh beberapa orang dikaitkan dengan risiko endometriosis. Namun sejauh ini belum ada bukti ilmiah bahwa aborsi bisa mengembangkan endometriosis.
Mungkin pendapat aborsi bisa sebabkan endometrosis ini muncul karena kebingungan membedakan endometrosis dan endometritis. Endometrosis terjadi kala jaringan yang melapisi rahim (yang disebut endometrium) ditemukan di bagian lain dalam tubuh. Jaringan ini membentuk lesi endometriosis. Lesi endometriosis ini paling sering ditemukan di indung telur dan organ-organ lain dalam panggul. Sedangkan endometritis merupakan peradangan yang terjadi di endometrium, yaitu lapisan sebelah dalam pada dinding rahim, yang terjadi akibat infeksi. Endometritis biasa terjadi setelah kejadian aborsi, kelahiran kembar, serta kerusakan jalan kelahiran sesudah melahirkan.
Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah yang menghubungkan douching dan akibatnya mengembangkan endometriosis. Sama halnya keterkaitan aborsi dan endometriosis, mungkin masih banyak yang membedakan endometriosis dan endometritis.
Douching merupakan kegiatan mencuci vagina dengan menyemprotkan air atau cairan lain seperti cuka, baking soda, atau larutan douching yang dijual bebas ke dalam vagina. Douching tidak disarankan untuk dilakukan karena dikhawatirkan mengubah keseimbangan kimiawi dan flora di vagina. Hal ini bisa membuat perempuan lebih rentan terhadap infeksi bakteri. Nah, infeksi inilah yang bisa memicu peradangan di endometrium.
Ada klaim yang mengayttakan bahwa perempuan dengan endometriosis memiliki risiko mengemnbangkan kanker ovaroium yang lebih tinggi. Namun sejauh ini belum ada penelitian yang pasti. Endometriosis diketahui bukan prekursor kanker, namun dalam kasus yang sangat jarang adanya transformasi maligna telah diamati.
Kendati endometriosis dikaitkan dengan peradangan dan disfungsi imunologi, namun belum ada bukti penyakit ini merupakan penyakit autoimun.
(vit/up)