"Memang reaksi pertama adalah denial, 'kenapa harus saya?'. Ini adalah implikasi psikologis yang dialami keluarga," kata dr Widya Eka Nugraha, konselor genetika dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, seperti ditulis Senin (13/7/2015).
Tidak selalu mudah melewati fase ini. Seperti yang dialami seorang ibu muda di Jakarta, yang anaknya didiagnosis mengidap Treacher Collins Syndrome (TCS). Kelainan ini membuat struktur wajah tidak sempurna, hingga berdampak pada fungsi berbagai organ seperti mata dan telinga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Kisah Kirana, Bayi Cantik Berdagu Kecil dengan Sederet Penyakit Langka
Butuh proses untuk bisa memahami dan beradaptasi dengan berbagai implikasi medis maupun psikologis yang hadir menyertai berbagai jenis kelainan genetik langka. Pada situasi seperti inilah, kehadiran seorang konselor genetika sangat dibutuhkan.
Langkah pertama yang akan dilakukan seorang konselor genetika adalah memastikan bahwa penyakit atau kelainan yang dihadapi pasien memang disebabkan oleh faktor genetik. Berikutnya, ia akan membuat famili pedigree atau pohon silsilah untuk menelusuri dan menghitung risiko kemunculan sebuah kecacatan genetik.
Baca juga: Penyakit Langka MSUD Muncul Lagi, Menyerang Bayi Kembar Alisya-Syafina
"Tidak semua kelainan genetik diturunkan dari orang tua. Sekitar 60 persen bersifat de novo, muncul spontan atau by chance," kata dr Eka dalam diskusi PRS (Pierre Robin Sequence/Syndrome) Talk di Loka Cibubur, Jakarta Timur baru-baru ini.
Salah satu hasil dari rangkaian konseling genetik adalah informed choice. Diharapkan, keluarga pasien punya pilihan dan bisa memutuskan sendiri apakah tetap punya anak lagi dengan mempertimbangkan dasar ilmiah berupa hitung-hitungan faktor risiko yang sudah dibuat.
(up/vit)











































