Korban Gempa Lombok Rentan Trauma Psikologis, Begini Tanda-tandanya

Korban Gempa Lombok Rentan Trauma Psikologis, Begini Tanda-tandanya

Muhamad Reza Sulaiman - detikHealth
Senin, 20 Agu 2018 16:45 WIB
Korban Gempa Lombok Rentan Trauma Psikologis, Begini Tanda-tandanya
Suasana di tenda pengungsian gempa Lombok. (Foto: Dok. Istimewa)
Jakarta - Korban bencana alam seperti gempa Lombok perlu penanganan khusus di bidang kejiwaan. Beragam jurnal ilmiah membuktikan, korban bencana alam rentan mengalami trauma psikologis.

Psikolog dari Personal Growth, Veronica Adesla mengatakan diagnosis trauma psikologis dan post traumatic stress disorder (PTSD) hanya bisa dilakukan oleh profesional terlatih seperti psikiter dan psikolog klinis.

Namun, ia menyebut ada beberapa tanda-tanda yang bisa dikenali oleh relawan maupun tenaga kesehatan. Apa saja?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mimpi buruk

Foto: Dok. Istimewa
Mimpi buruk bisa terjadi pada korban bencana alam. Mimpi buruk yang terjadi secara berulang dan menimbulkan perasaan sedih, frustrasi, takut dan terancam bisa menandakan ada trauma psikologis.

"Pada anak dapat muncul tiba-tiba terbangun ketika sedang tidur dan menangis, ataupun mengompol (dimana sebelumnya sudah tidak mengompol). Hal ini dapat terkait dengan munculnya gangguan tidur," ujar Veronica.

Bentuk lainnya adalah tiba-tiba mengingat kejadian bencana di keseharian. Pada anak kecil, hal ini bisa terjadi ketika bermain dan membuatnya takut terhadap simbol-simbol terkait gempa.

"Misalnya, tiba-tiba saja teringat kejadian gempa dan merasakan sedih, putus asa, ketakutan, dan tubuh bergetar," tambahnya.

Dipenuhi emosi negatif

Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Korban bencana alam bisa mengalami trauma yang membuatnya selalu dipenuhi emosi negatif. Contohnya, mudah kaget, mudah tersulut, atau merasakan emosi negatif yang tidak sehat, seperti panik, cemas, marah berlebihan, dan agresif.

Mereka juga biasanya sulit tau tidak mampu memiliki perasaan positif sepereti puas, senang, bahagia, dan rasa sayang.

"Demikian juga ketika mengalami hal-hal yang menyerupai kejadian gempa, seperti: bunyi keras (mengingatkan akan bunyi tanah longsor, atau bangunan runtuh), benda terjatuh yang menimbulkan suara ataupun getaran, suara orang yang ramai," terang Veronica.

Menarik diri

Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Korban bencana alam yang mengalami trauma psikologis juga sering menarik diri dari lingkungan. Ia tidak minat, kehilangan semangat, sulit berkonsentrasi, dan atau terganggunya melakukan aktivitas penting sehari-hari, seperti: makan, tidur (terlalu berlebihan atau malah sulit untuk tidur), merawat diri, bekerja, bersosialisasi.

Menurunnya kemampuan mengingat, terutama yang berkenaan dengan hal-hal penting dan yang berhubungan dengan gempa juga bisa terjadi.

"Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan kembali peristiwa gempa, yang dapat ditampilkan dengan menghindari pembicaraan, tempat kejadian, keramaian, benda kenangan, ataupun situasi-situasi yang terkait peristiwa gempa akan sering dilakukannya," katanya.

Menyalahkan diri sendiri

Foto: dok. Kemensos
Pada korban bencana alam, masalah kejiwaan lain yang bisa muncul adalah survivor's guilt, yakni rasa bersalah kepada diri sendiri. Mereka merasa bahwa semua terjadi karena kesalahannya, atau tidak ada tempat aman dimanapun, atau tidak ada orang yang dapat dipercaya.

Jika dibiarkan, hal ini bisa memicu munculnya pemikiran dan keyakinan yang buruk terhadap diri sendiri, orang lain, masa depan, ataupun dunia.

Baca juga: Korban Gempa Lombok Berisiko Alami Stres Akut Hingga Gangguan Kecemasan

"Dampaknya, mereka terjebak dalam kondisi emosi negatif yang tidak sehat secara terus menerus," tutupnya.

Halaman 2 dari 5
Mimpi buruk bisa terjadi pada korban bencana alam. Mimpi buruk yang terjadi secara berulang dan menimbulkan perasaan sedih, frustrasi, takut dan terancam bisa menandakan ada trauma psikologis.

"Pada anak dapat muncul tiba-tiba terbangun ketika sedang tidur dan menangis, ataupun mengompol (dimana sebelumnya sudah tidak mengompol). Hal ini dapat terkait dengan munculnya gangguan tidur," ujar Veronica.

Bentuk lainnya adalah tiba-tiba mengingat kejadian bencana di keseharian. Pada anak kecil, hal ini bisa terjadi ketika bermain dan membuatnya takut terhadap simbol-simbol terkait gempa.

"Misalnya, tiba-tiba saja teringat kejadian gempa dan merasakan sedih, putus asa, ketakutan, dan tubuh bergetar," tambahnya.

Korban bencana alam bisa mengalami trauma yang membuatnya selalu dipenuhi emosi negatif. Contohnya, mudah kaget, mudah tersulut, atau merasakan emosi negatif yang tidak sehat, seperti panik, cemas, marah berlebihan, dan agresif.

Mereka juga biasanya sulit tau tidak mampu memiliki perasaan positif sepereti puas, senang, bahagia, dan rasa sayang.

"Demikian juga ketika mengalami hal-hal yang menyerupai kejadian gempa, seperti: bunyi keras (mengingatkan akan bunyi tanah longsor, atau bangunan runtuh), benda terjatuh yang menimbulkan suara ataupun getaran, suara orang yang ramai," terang Veronica.

Korban bencana alam yang mengalami trauma psikologis juga sering menarik diri dari lingkungan. Ia tidak minat, kehilangan semangat, sulit berkonsentrasi, dan atau terganggunya melakukan aktivitas penting sehari-hari, seperti: makan, tidur (terlalu berlebihan atau malah sulit untuk tidur), merawat diri, bekerja, bersosialisasi.

Menurunnya kemampuan mengingat, terutama yang berkenaan dengan hal-hal penting dan yang berhubungan dengan gempa juga bisa terjadi.

"Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan kembali peristiwa gempa, yang dapat ditampilkan dengan menghindari pembicaraan, tempat kejadian, keramaian, benda kenangan, ataupun situasi-situasi yang terkait peristiwa gempa akan sering dilakukannya," katanya.

Pada korban bencana alam, masalah kejiwaan lain yang bisa muncul adalah survivor's guilt, yakni rasa bersalah kepada diri sendiri. Mereka merasa bahwa semua terjadi karena kesalahannya, atau tidak ada tempat aman dimanapun, atau tidak ada orang yang dapat dipercaya.

Jika dibiarkan, hal ini bisa memicu munculnya pemikiran dan keyakinan yang buruk terhadap diri sendiri, orang lain, masa depan, ataupun dunia.

Baca juga: Korban Gempa Lombok Berisiko Alami Stres Akut Hingga Gangguan Kecemasan

"Dampaknya, mereka terjebak dalam kondisi emosi negatif yang tidak sehat secara terus menerus," tutupnya.

(mrs/up)

Berita Terkait