Kelelahan fisik dan mental bukan satu-satunya risiko yang dihadapi pekerja semacam ini. Risiko mengalami kecelakaan makin besar seiring makin kerapnya pekerja menempuh jarak ratusan kilometer, demi memenuhi rasa kangen pada keluarga.
"Pulang pergi pakai pesawat walaupun mahal dan risiko lumayan besar, tetap harus dijalani demi bertemu keluarga. Memilih pakai bus tetap ada risikonya," kata Esra Nababan yang menepuh 'PJKA' rute Jakarta-Pekanbaru dalam e-mail kepada detikHealth.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suasana kabin mendadak senyap, troli yang biasanya membawa makanan urung untuk dijajakan, muka-muka penumpang sedih dan takut. Sesekali captain menyampaikan melalui pesan suara untuk banyak berdoa dan istighfar agar kita selamat sampai tujuan,Zaenal Mahasin, Pejuang PJKA |
"Suasana kabin mendadak senyap, troli yang biasanya membawa makanan urung untuk dijajakan, muka-muka penumpang sedih dan takut. Sesekali captain menyampaikan melalui pesan suara untuk banyak berdoa dan istighfar agar kita selamat sampai tujuan," kata Zaenal.
Zaenal baru merasa plong saat pesawat mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Aroma Palubasa Serigala, Coto Nusantara, Sop Palukaloa seolah menyambut kedatangannya. Stres dan penat dalam perjalanan selanjutnya diatasi dengan menu sarapan sop daging tanpa jeroan sebelum bekerja.
Kenangan 'terjadi apa-apa' di jalan sempat dialami Ratio, pejuang 'PJKA' yang sempat menempuh rute Jakarta-Yogyakarta. Kenangan yang disebutnya paling parah terjadi pada 16 Mei 2009 di persimpangan Sumpiuh. Saat itu, Ratio berada di dalam kereta Senja Utama Jogja yang bertabrakan dengan truk bermuatan semen. Kecelakan pada pukul 03.30 yang menewaskan seorang penjaga palang pintu kereta itu ternyata tidak mempengaruhi intensitasnya untuk 'PJKA'.
Ratio juga pernah kehilangan waktu bersama keluarga karena bus yang ditumpangi mengalami gangguan. Perjalanan Jakarta-Yogyakarta yang seharusnya 10 jam menjadi 12 jam. Gangguan kembali terjadi dalam perjalanan kembali ke Jakarta, yang menyebakannya harus berganti armada bus.
"Terjadi apa-apa di jalan bisa berbagai bentuk, misal perjalanan yang semakin lama. Sesuai pengalaman saya, 'terjadi apa-apa' bisa dialami di angkutan yang cepat, lambat, murah, atau mahal," kata Ratio.
Tahun 2015, menjadi kali terakhir Ratio melakukan PJKA sebelum keluarganya mulai ikut tinggal di Jakarta. Menurutnya, pejuang PJKA memilih moda transportasi berdasar konsekuensi rasa kangen, waktu perjalanan, dan biaya lain yang dikeluarkan. Pejuang PJKA menyadari peluang terjadi apa-apa dalam rutinitasnya, terlepas dari pilihan jenis transportasinya.











































