"Cuci tangan dulu ya, Mbak," ujar seorang wanita yang belakangan diketahui akrab dengan sapaan Mama Arsyil. Kami pun mencuci tangan di wastafel yang tersedia.
Di dalam, rumah tertata dengan rapi. Kesan bersih langsung muncul begitu masuk dan duduk di sofa depan. Tak lama, kami dikelilingi oleh orangtua dan juga pasien kanker yang tinggal di Rumah Anyo. Tak begitu ramai, karena ada pasien yang masih berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais yang memang tidak jauh dari sini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masak bersama, siapa yang bisa masak ya masak. Kadang nyuci ngepel," ujar Mainar (53), orangtua dari salah satu penyintas.
Tak menampik, tinggal di rumah singgah bisa jadi tantangan. Apalagi bersama dengan orang yang berlatar belakang berbeda budaya satu dan lainnya.
Foto: Aisyah/detikHealth |
"Namanya hidup bersama jauh dari keluarga, dengan karakter manusia dari daerah berbeda, kami harus menyesuaikan kalau nggak pandai-pandai ya bisa berantem," celetuk Mainar yang dibalas anggukan oleh para penghuni.
"Orang Batak 'bah bah' kita kira kasar ya padahal dia kan sudah halus sebenarnya, namanya juga keragaman suku bangsa," imbuhnya.
Namanya hidup, ada suka dan ada duka. Dengan adanya rumah singgah ini, mereka pun diliputi kehangatan dan juga merasa sepenanggungan sehingga jadi lebih bisa bersyukut menjalani hidup.
"Kadang kita di daerah kita merasa paling menderita dapet cobaan begini, setelah kita kumpul ternyata Alhamdulillah kita masih diberikan keistimewaan. Sakit tapi masih bisa jalan. Akhirnya kita bersyukur, apapun yang diberikan Tuhan," tutup Mainar.












































Foto: Aisyah/detikHealth