Banyak caleg habis-habisan menggelontorkan sedikit banyak waktu, tenaga, dan juga uang untuk kampanyenya. Kalau sampai tidak terpilih, maka wajar jika risiko stres akan membayangi.
Menurut dr Dewi Ema Anindia, risiko stres atau depresi yang dihadapi caleg tergantung pada masing-masing pribadinya. Baginya, terpilih atau tidak seharusnya dibawa santai saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
dr Ema menambahkan, caleg yang bisa stres dalam Pemilu ini adalah yang memiliki tujuan untuk mencari penghasilan dari pekerjaannya nanti menjadi wakil rakyat. Sehingga saat tidak terpilih, ada ekspektasi yang tidak terpenuhi lalu menyebabkan stres.
"Caleg stres itu kan yang berhenti dari pekerjaannya, terus hanya nyaleg saja, menghabiskan seluruh tabungannya buat nyaleg, terus kalah," lanjutnya.
Pendapat senada juga disampaikan oleh pakar kesehatan jiwa sekaligus staf pengajar Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana (FK UKRIDA), dr Andri, SpKJ, FACLP. Menurutnya, caleg yang memiliki tujuan untuk mengabdi pada masyarakat tentunya akan berlapang dada jika mengalami kekalahan.
"Saya kira sebagai seorang caleg, orang itu sudah tahu bahwa mereka akan dipilih oleh masyarakat. Sudah tahu konsekuensinya, bisa terpilih atau tidak terpilih. Kalau misal tujuan menjadi caleg itu untuk mengabdi pada masyarakat, artinya kalau pun tidak terpilih masih banyak ladang untuk pengabdian yang lain bukan hanya menjadi anggota legislatif," jelas dr Andri.
"Namun yang sering jadi masalah kalau orang itu ngotot kepengin jadi caleg, pengen mengabdi hanya dengan jadi caleg saja atau menjadi anggota legislatif saja, mungkin bisa stres atau gejala depresi," tandasnya.











































