Pengalaman Mengidap COVID-19, Sebulan Lebih Hadapi Beragam Gejala

Pengalaman Mengidap COVID-19, Sebulan Lebih Hadapi Beragam Gejala

Tim detikHealth - detikHealth
Minggu, 25 Okt 2020 15:09 WIB
Sars-CoV-19 test tube in purple protective glove, virus illustration on computer screen in background
Pengalaman terinfeksi virus Corona dan hadapi Long COVID. (Foto: Getty Images/iStockphoto/PS3000)
Jakarta -

Infeksi COVID-19 memang tidak selalu disertai komplikasi berat dan mematikan. Beberapa di antaranya hanya mengalami gejala ringan-sedang, bahkan tanpa gejala.

Namun bukan berarti virus ini bisa diremehkan. Bagi yang dikategorikan ringan-sedang, berbagai keluhan mulai dari batuk hingga nyeri otot terkadang masih menghantui bahkan hingga berminggu-minggu setelah dinyatakan sembuh.

Belakangan, fenomena gejala berkepanjangan ini dikenal sebagai 'Long COVID'. Ini membuktikan, sekalipun pada beberapa orang hanya memicu gejala ringan-sedang, tidak ada jaminan berbagai keluhan tersebut akan hilang hanya dalam 1-2 pekan.

Kepada detikcom, seorang survivor atau penyintas COVID-19 mengisahkan pengalamannya bergelut dengan Long COVID.

Berikut selengkapnya:

ADVERTISEMENT

Hingga kini jumlah kasus konfirmasi positif COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 385.980 orang. Saya termasuk salah satu yang turut menyumbang kenaikan angka kasus tersebut ketika didiagnosis positif terinfeksi pada tanggal 24 September lalu.

Menghadapi infeksi COVID-19 bisa jadi pengalaman yang berbeda-beda bagi tiap orang. Ada yang bisa merasa baik-baik saja dan bisa cepat pulih, tapi ada juga yang gejalanya cukup berat atau harus menghadapi efek berkepanjangan setelah sembuh dari infeksi.

Saya dalam hal ini sepertinya masuk dalam kelompok mereka yang menghadapi efek jangka panjang yang kerap disebut juga dengan "Long COVID".


Awal infeksi

Saya ingat pertama kali merasakan gejala demam di awal bulan September. Kala itu saya memutuskan beristirahat selama dua hari karena demam yang tak kunjung reda di suhu sekitar 38 derajat celcius.

Usai demam reda, karena tidak merasakan gejala maka saya kembali beraktivitas seperti biasa, kembali masuk kantor. Namun hanya sehari setelah itu mulai muncul gejala-gejala lain yang saya kira awalnya tidak saling berhubungan.

Dimulai dari rasa nyeri otot di hampir seluruh tubuh dan lemas. Perasaan curiga tidak muncul karena kebetulan saat itu saya juga baru terlibat kecelakaan. Saya mengira nyeri itu datang dari memar.

Hanya dalam hitungan hari keluhan berkembang. Indra pengecap terasa berubah membuat saya kesulitan makan bahkan minum air putih. Batuk-batuk yang tidak berhenti juga muncul.

"Coba cek ke puskemas," ujar ibu saya yang mulai khawatir.

Pada akhirnya saya menghubungi puskesmas di tingkat kelurahan. Setelah dilakukan penilaian dan menunggu selama kurang lebih tiga hari, tes PCR menunjukkan hasil positif.

Dari mana saya terinfeksi? Hingga sekarang ini jadi pertanyaan saya masih belum bisa jawab. Saya kerap menaati protokol kesehatan, tidak pernah melakukan kontak dekat dengan pasien positif, dan tidak pernah ke luar rumah kecuali untuk ke kantor.


Masa isolasi

Usai saya dinyatakan positif, dokter puskesmas kembali menghubungi. Kondisi saya mungkin dinilai cukup memadai hingga akhirnya diputuskan saya menjalani isolasi mandiri di rumah dengan pemantauan ketat.

Minggu pertama isolasi jadi yang paling berat. Hampir sepanjang hari saya menghabiskan waktu di kamar beristirahat.

Mulut yang terasa tak nyaman menghilangkan nafsu makan membuat tubuh jadi semakin lemas. Untungnya fungsi rasa manis di lidah tidak berubah sehingga saya masih bisa mengonsumsi buah.

Minggu kedua perlahan fungsi indra pengecap kembali namun gejala lainnya masih ada. Saya mengalami nyeri kepala dan perut tak tertahankan yang kerap datang mendadak.

'Sembuh'

Setelah hampir tiga minggu isolasi mandiri, dokter puskesmas memberitahu saya selesai menjalani masa pemantauan. Saya diberikan surat keterangan yang menyatakan saya bisa kembali beraktivitas seperti biasa per tanggal 6 Oktober 2020.

Saya berasumsi surat tersebut jadi tanda bahwa saya sudah dianggap pasien sembuh. Melihat peraturan yang ada, memang kini pasien sembuh tidak lagi dilihat berdasarkan hasil tes swab negatif, melainkan berdasarkan jumlah hari setelah kemunculan gejala Corona.

"Dok saya tapi ini kadang masih muncul gejala-gejalanya. Apa memang seperti itu?" ingat saya bertanya pada dokter puskesmas saat menerima surat karena ada keraguan apakah sudah benar-benar sembuh.

Saat itu dokter puskesmas menjawab memang ada pasien yang bisa merasakan gejala bahkan setelah lebih dari dua minggu sejak pertama kali terinfeksi. Ia menyarankan saya agar tetap beristirahat di rumah, berjemur, dan mengonsumsi multivitamin untuk berjaga-jaga.


Tes masih positif

Pada tanggal 13 Oktober saya mendapat kesempatan untuk kembali menjalani tes PCR. Kondisi saya masih sama seperti sebelumnya dengan gejala seperti batuk, pilek, sakit kepala, sakit perut, nyeri otot, dan rasa lelah yang datang secara acak.

Hasilnya, tes ternyata masih menemukan jejak virus di dalam tubuh saya.

Seorang dokter, vaksinolog, menilai kemungkinan saya menghadapi fenomena 'Long COVID'. Lewat pesan di WhatsApp ia menyarankan agar saya melakukan kontrol cek kesehatan rutin.

"Yang jelas udah enggak menular kalau sudah satu bulan, walaupun swab masih positif," ujarnya.

Sekarang saya masih menunggu kapan gejala-gejala ini perlahan mereda sampai benar-benar hilang.



Simak Video "Video WHO soal Ilmuwan China Temukan Virus Corona Baru Mirip Penyebab Covid-19"
[Gambas:Video 20detik]
Fenomena Long COVID-19
21 Konten
Beberapa pasien mengeluhkan gejala COVID-19 dalam waktu lama bahkan hingga berbulan-bulan. Hal ini dikenal dengan 'Long-COVID-19'. Apa saja gejala-gejalanya?