Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyayangkan uji preklinis vaksin Nusantara tak dilakukan terlebih dulu pada hewan. Pasalnya, seluruh vaksin yang dikembangkan selama ini selalu melewati fase uji preklinis pada hewan.
Saat BPOM meminta vaksin Nusantara melakukan uji klinis pada hewan, tim peneliti menolak dengan alasan teknologi sel dendritik sudah sering digunakan pada terapi kanker.
Eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang memprakarsai vaksin Nusantara angkat bicara mengenai hal ini. Ia berdalih uji klinis pada hewan sudah dilakukan di Amerika Serikat, AIVITA Biomedical.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sudah WA-kan hasil uji klinik mengenai vaksin safety dan efikasi oleh pihak ketiga di Amerika karena itu sudah dikerjakan," jelas Terawan dalam Raker DPR Komisi IX Rabu (10/3/2021)
"Dan itu hasilnya ada kita kan kirimkan vaksin safety dan efikasi pada uji binatang ini juga sudah kita konsultasikan ke Prof Nidom sudah saya kirim," bebernya.
Menanggapi ini, Guru Besar Unair Prof Chairul A Nidom menyebut laporan uji klinis pada hewan yang diterimanya sudah sesuai dengan uji atau penelitian vaksin pada umumnya, dan mengklaim tak ada perubahan apapun dalam uji coba yang disebut menggunakan tikus.
Permintaan BPOM soal uji coba pada hewan bukan tak beralasan. Meski teknologi sel dendritik sudah biasa digunakan pada terapi kanker, vaksin Nusantara ditambahkan antigen hingga perlu melihat dulu keamanan vaksin tersebut.
"Jangan sampai kita memberikan kepada manusia suatu produk yang belum terjamin aspek keamanannya," wanti-wanti kepala BPOM Penny K Lukito, dalam kesempatan yang sama.
Lebih detail, juru bicara program vaksinasi COVID-19 BPOM Lucia Rizka Andalusia, menjelaskan pihaknya sangat berhati-hati dalam mengizinkan penelitian atau uji coba vaksin. Ia juga mempersoalkan antigen yang diimpor dari perusahaan AIVITA, perusahaan yang ikut dalam pengembangan vaksin Nusantara.
"Antigen itu yang akan berfungsi sebagai vaksin, tentunya kami harus memastikan sel dendritik yang nantinya akan disuntikkan sudah bebas dari antigen yang diinkubasikan ke dalam sel dendritik tersebut karena bagaimanapun juga antigen itu dibuat dari virus," kata dia.
"Kami harus mematikan keamanannya dan dia sudah tidak terkandung dalam sel dendritik, oleh karena itu kami meminta dilakukan uji pre klinik pada hewan," jelas Rizka.
Meski pada akhirnya para peneliti vaksin Nusantara bersikeras tak ingin melakukan uji coba pada hewan, BPOM memberikan beberapa opsi kondisional, seperti mengizinkan penelitian pertama untuk tiga subjek saja.
"Karena tidak dilakukan kami memberikan kondisional dengan menyatakan bahwa dilakukan dulu di tag orang pertama. Karena kami sangat berhati-hati, first in human ini harus benar-benar dipastikan ini aman dan kami meminta pengujian apakah ada residu antigen di dalam sel dendritiknya," jelas Rizka.
"Dari antigen yang diimpor dari AIVITA itu kami ingin tahu bagaimana residunya dan apakah itu masuk ke dalam tubuh pasien tersebut," pungkasnya.
(naf/up)











































