Sensus penduduk sekali dalam satu dekade telah menunjukkan bahwa kelahiran di China turun ke tingkat terendah sejak tahun 1960-an, yang mengarah pada seruan untuk mengakhiri kebijakan pengendalian kelahiran.
Sensus China, yang dirilis awal bulan Juli, menunjukkan bahwa sekitar 12 juta bayi lahir tahun lalu, penurunan yang signifikan dari 18 juta pada 2016, dan jumlah kelahiran terendah yang tercatat sejak 1960-an.
Diberitakan BBC, meski populasi secara keseluruhan tumbuh, nyatanya mereka bergerak pada kecepatan paling lambat dalam beberapa dekade, menambah kekhawatiran bahwa China mungkin menghadapi penurunan populasi lebih cepat dari yang diharapkan dan terjadi resesi seks.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Populasi yang menyusut bermasalah karena struktur usia terbalik, dengan lebih banyak orang tua daripada muda.
Ketika itu terjadi, tidak akan ada cukup pekerja di masa depan untuk mendukung orang tua, dan mungkin ada peningkatan permintaan untuk perawatan kesehatan dan sosial.
Sebagai negara lebih maju, tingkat kelahiran cenderung turun karena pendidikan atau prioritas lain seperti karir. Negara-negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan, misalnya, juga mengalami penurunan angka kelahiran ke rekor terendah dalam beberapa tahun terakhir meskipun berbagai insentif pemerintah bagi pasangan untuk memiliki lebih banyak anak.
Banyak pria sulit dapat pasangan. Selengkapnya di halaman berikut.
Di China, ada julukan untuk pria yang belum menikah di atas usia 30 tahun. Shengnan, yang berarti 'pria sisa' belum menemukan istri. Di negara itu terjadi kesenjangan gender dan itu adalah masalah besar.
Dilaporkan, ada ketidakseimbangan gender yang parah di negara ini. Tahun lalu, ada 34,9 juta lebih banyak pria daripada wanita.
Hal ini merupakan dampak dari kebijakan satu anak yang ketat di negara itu, yang diperkenalkan pada tahun 1979 untuk memperlambat pertumbuhan penduduk.
Dalam budaya yang secara historis lebih menyukai anak laki-laki daripada anak perempuan, kebijakan tersebut menyebabkan aborsi paksa dan dilaporkan membanjirnya anak laki-laki yang baru lahir dari tahun 1980-an dan seterusnya.
"Ini menimbulkan masalah bagi pasar pernikahan, terutama bagi pria dengan sumber daya sosial ekonomi yang lebih rendah," kata Dr Mu Zheng, dari departemen sosiologi Universitas Nasional Singapura.
Pada 2016, pemerintah mengakhiri kebijakan tersebut dan mengizinkan pasangan untuk memiliki dua anak. Namun, reformasi telah gagal untuk membalikkan tingkat kelahiran yang jatuh di negara itu meskipun ada peningkatan angka kelahiran dua tahun setelah kebijakan tersebut
Wanita tak mau punya anak
Bercerita kepada BBC, Penduduk Beijing, Lili (bukan nama sebenarnya) tidak berencana untuk memiliki anak dalam waktu dekat.
Wanita berusia 31 tahun, yang telah menikah selama dua tahun ini ingin menjalani hidup tanpa "kekhawatiran terus-menerus" dalam membesarkan anak.
"Saya memiliki sedikit teman sebaya yang memiliki anak, dan jika mereka memilikinya, mereka terobsesi untuk mendapatkan pengasuh terbaik atau mendaftarkan anak-anak di sekolah terbaik. Kedengarannya melelahkan," katanya.
Perempuan khususnya masih diharapkan menjadi pengasuh utama karena norma gender. China, secara teori memiliki 14 hari cuti ayah, tapi jarang bagi pria untuk mengambilnya dan bahkan lebih jarang bagi mereka untuk menjadi ayah penuh waktu.
"Ketakutan seperti itu dapat menyebabkan wanita tidak ingin memiliki anak jika mereka merasa hal itu dapat mengurangi prospek karir mereka," jelas Dr Mu.
Simak Video "Video: Tips Meningkatkan Kesuburan Wanita yang Ingin Cepat Hamil"
[Gambas:Video 20detik]
(kna/kna)











































